Senin, 24 November 2025
Beranda / Opini / Pasal 11 UUPA vis a vis Bentuk Negara Kesatuan

Pasal 11 UUPA vis a vis Bentuk Negara Kesatuan

Senin, 24 November 2025 14:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Muhammad Ridwansyah

Muhammad Ridwansyah, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien. [Foto: Dokpri]


DIALEKSIS.COM | Opini - Pada tanggal 19 November 2025 diadakan rapat kerja Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang perubahan undang-undang tentang pemerintahan Aceh (UUPA). Ada tiga Kementerian yang hadir, yakni Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan Republik Indonesia (Kemenko Polkam), Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, dan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Salah satu isu dari tiga Kementerian yang akan diulas yakni pertimbangan dan masukan terhadap revisi Pasal 11 UUPA, Kemko Polkam menjelaskan bahwa revisi tersebut akan berdampak pada konstruksi norma yang pada dasarnya memperluas kewenangan regulatif dan pengawasan Pemerintah Aceh.

Usulan revisi Pasal 11 ini menjadi dasar hubungan kewenangan antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat karena revisi usulan tersebut mengalihkan kewenangan sepenuhnya kepada Pemerintah dan menetapkan ketentuan tersebut dituangkan dalam Qanun Aceh. Kemudian mengembalikan fungsi pengawasan dialihkan kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kab/kota sesuai kewenangannya masing-masing, tanpa menyebutkan peran Pemerintah Pusat dalam pembinaan maupun pengawasan.

Tentu revisi usulan di atas menjadi bahan catatan dari pihak Kemenko Polkam sebagai berikut: Bahwa dalam ketentuan yang berlaku saat ini, Pemerintah Pusat tetap memegang peran sebagai penetap norma, standar, prosedur, kriteria (NSPK) serta memiliki kewenangan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan Pemerintah Aceh maupun pemerintah kabupaten/kota guna memastikan adanya keselarasan NSPK secara nasional serta menjaga keterhubungan antara kebijakan daerah dengan kerangka regulasi nasional.

Dua paragraf di atas sebenarnya lebih mengatur hubungan pusat dan daerah yang selama ini sudah terjalin pasca pengesahan norma Pasal 11 UUPA, namun fakta dilapangan semua pengaturan kekhususan di Aceh yang akan ditetapkan dalam qanun harus mengacu pada ketentuan NSPK nasional. 

Fakta hukum ini menyulitkan keberadaan Aceh sebagai pemerintahan sendiri (Pemerintahan Aceh) disebabkan keberadaan Pemerintah Indonesia dalam kerangka negara kesatuan bukan negara federal. Dalam konteks bentuk negara kesatuan para perumus bangsa debatable terhadap bentuk apa yang cocok bagi Indonesia. Kala itu, Soepomo memberikan rumusan bahwa Republik Indonesia harus menerapkan bentuk negara kesatuan dan daerah-daerah kerajaan atau kesultanan tetap harus dihormati dengan memberikan hak istimewa. 

Pembagian Indonesia langsung disebut sebagai pembagian daerah dalam daerah-daerah yang besar dan untuk membagi daerah-daerah kecil dengan dasar permusyawaratan. Sorjohamidjojo menegaskan apa yang diusulkan oleh Soepomo harus ditegaskan kembali dalam pengaturan konstitusi keistimewaan kerajaan-kerajaan yang di Indonesia.

Jika dilihat dalam rumusan Pasal 18 UUD NRI 1945 awal-awal kemerdekaan yakni “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahan ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan memperingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak- hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”

Kemudian perubahaan kedua Pasal 18 UUD NRI 1945 menyatakan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Tambahan Pasal 18A ayat (1) UUD NRI 1945 menjelaskan bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah propinsi, kabupaten, kota, atau antara propinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

Rumusan-rumusan Pasal 18 dan Pasal 18A di atas menegaskan bahwa UUD NRI 1945 tidak menganut bentuk negara federasi. Tidak ada negara dalam negara, hanya ada pemerintahan daerah dibawah kekuasaan pemerintah pusat. Selain itu, UUD NRI 1945 juga mengakui daerah-daerah yang bersifat otonom atau bersifat daerah administrasi saja. Perumusan konstitusi di atas menjelaskan bahwa penormaan Pasal 18 UUD NRI 1945 sama sekali tidak melihat konseptual keberadaan wilayah yang berhak untuk mewujudkan pemerintahan yang federatif, mereka hanya mendiskusikan daerah dalam konteks negara kesatuan. Pandangan Soepomo sangat tidak tegas jika terkait wilayah kerajaan yang merujuk pada daerah yang memilki landasan kekhususan dan keistimewaan. 

Hal ini dipertegas oleh Soerjohamidjojo menilai usulan Soepomo tidak logis, seharusnya memang pandangan Moh. Hatta menjadi landasan utama untuk menerapkan daerah-daerah di Indonesia menjadi negara federal. Usulan Moh. Hatta dipengaruhi atau cenderung melihat negara-negara federal di dunia dan memiliki kemajuan yang besar waktu itu dan sekarang seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet yang semuanya berbentuk federal.

Dapat dipahami bahwa jiwa dari rumusan Pasal 18 UUD NRI 1945 sangat sentralistik, kekhususan dan keistimewaan tidak begitu dimasukkan dalam rumusan norma. Teks normanya dimulai dari pembagian daerah Indonesia di bagi atas dimulai dari daerah besar dan kecil, lalu dengan memperhatikan hak-hak asal usul dalam aerah-daerah yang bersifat istimewa. Jika frasa istimewa hanya digunakan dalam rumusan awal maka Aceh juga tidak masuk, yang hanya masuk daerah keistimewaan Yogyakarta. Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahan ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan memperingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak- hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Konseptual negara kesatuannya sangat kuat karena rumusan opsi untuk menentukan apakah menggunakan negara kesatuan dan negara federal ditentukan melalui voting pada sidang BPUPKI yang diadakan 11 Juli 1945, 17 orang setuju negara kesatuan, dan 2 orang setuju negara federal.

Indonesia juga pernah menerapkan bentuk federal, ada tujuh negara bagian kala itu dibentuk antara lain: Republik Indonesia, Negara bagian Indonesia Timur, Negara bagian Pansundan, Negara bagian Jawa Timur, Negara bagian Madura, Negara bagian Sumatera Timur dan Negara bagian Sumatera Selatan. Namun 17 Agustus 1950 Repulik Indonesia Serikat (bentuk federatif) dibubarkan oleh Soekarno dengan alasan rakyat menuntut kembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan.

Catatan historis di atas ketika dibandingkan dengan niatan perubahan revisi Pasal 11 UUPA tetap akan menganggu kekuasaan pemerintah pusat (negara induk) sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan pusat. Dan perubahan beberapa pengaturan perundang-undangan sektor hubungan pusat dan daerah menjadi kekuasaan presiden terlalu heavy. Semestinya perubahan revisi Pasal 11 UUPA akan menggeser otonomi khusus yang sekarang (vide UU No. 23 Tahun 2014) dipahami oleh Kemenko Polkam dialihkan menjadi desentralisasi asimetris.

Tetapi dibalik pemahaman Kemenko Polkam di atas maka rumusan norma perubahan terhadap Pasal 11 UUPA akan sulit berubah karena kementerian a quo tidak akan berani menabrak ide dasar rumusan Pasal 37 UUD NRI 1945 (vide bentuk negara kesatuan). Sudut pandang Kemko Polkam tetap mengacu bahwa Pemerintah Aceh walaupun memilki kewenangan bidang pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang menjadi kewenangan Aceh akan tetapi pengawasan tersebut harus bersifat absolut dan tetap berada dalam kerangka sistem pemerintahan nasional yang mengedepankan prinsip checks and balances serta hierarki peraturan perundang-undangan (vide Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011).

Apa yang harus ada inisiasi dan menjadi fokus utama rakyat Aceh yakni gagasan kembali menuju perubahan kelima UUD NRI Tahun 1945, poin utama adalah merubah bentuk negara kesatuan menjadi bentuk negara federal sehingga daerah-daerah akan lepas dari keterkungkungan Pemerintah Pusat yang selama ini dirasakan oleh daerah-daerah terutama Aceh yang belum mampu mengaktualisasi semua keinginan dasarnya seperti yang diamanahkan oleh MoU Helsinki.

Whalllahu’alam bisshawab. [**]

Penulis: Muhammad Ridwansyah (Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI