kip lhok
Beranda / Opini / Pemilu 2024 Telah Usai, Bagaimana dengan Demokrasi di Indonesia?

Pemilu 2024 Telah Usai, Bagaimana dengan Demokrasi di Indonesia?

Sabtu, 08 Juni 2024 22:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Dicky Aulia

Dicky Aulia, Mahasiswa Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh. [Foto: dok pribadi untuk Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Pemilu yang seharusnya menjadi sarana kontestasi masyarakat untuk meningkatkan demokrasi di Indonesia malah menjadi boomerang bagi negara kita. Pemilu 2024 ini benar-benar berdampak buruk bagi kedaulatan rakyat Indonesia akibat berbagai akrobat politik dan kecurangan yang terjadi.

Hukum yang seharusnya menjadi tahta tertinggi dalam sebuah negara telah direkayasa dengan begitu mudahnya demi melanggengkan dinasti politik.

Sejak awal banyak pihak telah mencurigai proses yang mengawali Pemilu kali ini dengan ragam pengkondisiannya. Antara lain revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, UU IKN, isu presiden tiga periode, dan berbagai isu lainnya. Hal ini membuat banyak pihak yang menganggap bahwa akan terjadinya praktek kecurangan yang terjadi pada Pemilu 2024. 

Ditambah dengan keluarnya Keputusan MK yang mengantarkan putra sulung Presiden Jokowi menjadi Calon Wakil Presiden dalam Pemilu kali ini. Rakyat dipaksa mengamini hasil pemilu dengan berbagai prosedur legal, tapi tidak legitimate. Sebab, prosesnya secara terang-terangan telah melanggar etika dalam berdemokrasi. Bahkan banyak pihak yang menganggap bahwa mereka menghalalkan segala cara untuk mewujudkan kecurangan tersebut.

Pihak Anies dan Ganjar dikabarkan sepakat mengajukan protes terhadap KPU untuk mengusut lebih jauh dugaan kecurangan Pemilu kali ini. Tindakan mereka ini bukan semata-mata karena kalah dalam kontestasi Pilpres 2024, melainkan untuk membangun kembali tahta demokrasi di negara Indonesia yang berada di ujung tanduk. 

Titik awal kecurangan pada Pemilu 2024, yaitu pada saat Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan tentang batas usia Capres dan Cawapres. Jadi secara tidak langsung itu menjadi jembatan bagi Gibran untuk mencalonkan diri pada Pilpres 2024. 

Lantas apakah kita memerlukan konsolidasi untuk mempertahankan demokrasi kita?

Konsolidasi Demokrasi Pasca Pemilu 2024

Pasca pemilu, penting untuk kita membangun fondasi yang kuat dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia. Untuk saat ini, arah demokrasi Indonesia tidak lagi bersifat prosedural, tetapi substansial. Dan perlu diingat penyelenggaraan Pemilu yang sukses merupakan indikator penentu yang akan membawa konsolidasi demokrasi ke demokrasi matang. 

Dewi Anggraini, Dosen FISIP Universitas Andalas menyebutkan ada beberapa upaya untuk menghadapi tantangan konsolidasi demokrasi Indonesia pasca Pemilu 2024, yaitu:

Pertama, transparansi dan akuntabilitas. Dengan banyaknya isu kecurangan pada Pemilu kali ini membuat masyarakat terpolarisasi dan sulit untuk membangun Kembali kepercayaan terhadap pemerintah. 

Oleh karena itu, masyarakat sangat membutuhkan pelurusan informasi dan pembuktian bahwa isu-isu tersebut hanyalah kebohongan belaka. Munculnya kesadaran kolektif dalam mengawal isi-isu politik pasca Pemilu menunjukkan bahwa kepercayaan publik pada proses demokrasi masih sangat kuat. Jadi akses informasi yang transparan dan mudah diakses menjadi salah satu upaya menjaga agar demokrasi tidak hancur.

Kedua, adaptasi teknologi dalam penyebaran informasi. Hal ini dapat digunakan untuk memfasilitasi partisipasi publik dalam proses pengambilan Keputusan.

Ketiga, pendidikan politik bagi generasi muda. Hal ini sangat diperlukan untuk menghasilkan demokrasi yang lebih berkualitas dalam upaya menuju kematangan demokrasi.

Pilpres 2024 yang sejatinya akan meningkatkan kualitas demokrasi malah menjatuhkan harga diri demokrasi itu sendiri. Kini, proses demokratisasi yang dibangun di atas darah para pejuang reformasi tanpa rasa malu dan rasa berdosa telah dikhianati. 

Fenomena yang Terjadi di Pemilu

Memang pemilu 2024 telah usai, tapi pada kenyataannya kondisi perpolitikan masih belum stabil dan masih banyak kontroversi yang terjadi. Kita pun disuguhkan dengan sejumlah fenomena yang terjadi pada Pemilu 2024.

1. Dinasti politik

Fenomena dinasti ini dimulai dengan munculnya “keluarga politik“ dalam jabatan politik. Hal ini diyakini banyak pihak akan membuat penyalahgunaan kekuasaan yang nantinya akan menimbulkan nepotisme. Dinasti politik ini telah menjadi sesuatu yang dianggap hal yang lumrah dan sesuatu yang dianggap remeh. 

Prabowo sendiri mengakui bahwa hampir semua partai politik di Indonesia memiliki jejak dinasti politik. Padahal dinasti politik bisa merusak prinsip meritokrasi dan persaingan yang adil dalam politik. Praktik dinasti ini memungkinkan pejabat-pejabat tersebut untuk menguasai eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Lantas apakah itu tidak membuat demokrasi Indonesia hancur?

2. Konflik kepentingan

Fenomena ini dibuktikan dengan adanya putusan Mahmakah Konstitusi (MK) tentang batas minimal usia Capres-Cawapres. Banyak pihak yang menganggap bahwa ketua MK menyetujui Keputusan itu dikarenakan ingin keponakannya naik mencalonkan diri sebagai Cawapres 02 yaitu Gibran Rakabuming Raka. 

Sebelumnya Indonesia juga sudah dikenal dengan banyaknya kasus konflik kepentingan dalam kontestasi politik. Pada pemilihan Gubernur Kalimantan Timur 2008, Presiden SBY dikabarkan menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan Awang Faroek Ishak (AFI). Kala itu SBY diduga menggunakan kewenangannya untuk merekomendasikan KPK untuk menyelidiki Syaukani yaitu lawan terkuat AFI atas dugaan peningkatan biaya studi kelayakan Pembangunan Bandara Kutai Kartanegara dan pengadaan lahan untuk fasilitas baru yang diusulkan pemerintah daerah. Akhirnya Syaukani pun tertangkap oleh KPK dan AFI berhasil melenggang menjadi Gubernur Kalimantan Timur. Oleh karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa pemimpin negara bisa menggunakan segala kekuasaannya untuk menjaga kepentingan mereka.

3. Meritokrasi sudah sulit ditemukan

Meritokrasi (cara memperoleh kekuasaan berdasarkan prestasi, kualitas) seharusnya menjadi landasan utama dalam menciptakan pemimpin masa depan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas bangsa dan pastinya menjaga tahta demokrasi negara Indonesia. Jika kita memiliki pemimpin yang seperti ini, ia akan bijak tentunya dalam hal apapun.

Sudah sepatutnya, fenomena yang dipaparkan menjadi bahan introspeksi bagi masyarakat Indonesia. Karena jika terus dibiarkan, demokrasi di Indonesia akan benar-benar hancur dan tidak dijunjung tinggi lagi. Mulailah kritis dan bersikap, mulai dari masyarakat hingga pemimpin negeri ini, sehingga tahta demokrasi Indonesia akan tetap terjaga. 

Semoga Pimpinan Negeri ini diberikan kebijaksanaan dalam demokrasi! [**]

Penulis: Dicky Aulia (Mahasiswa Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda