DIALEKSIS.COM | Opini - Dalam sistem peradilan pidana di indonesia saat ini tujuan akhirnya bukan hanya bertumpu pada pemidanaan terhadap terdakwa, melainkan telah mengarah pada penyelarasan kepentingan pemulihan korban dan pertanggungjawaban terdakwa dengan menggunakan pendekatan yang disebut keadilan restoratif (restorative justice).
Keadilan Restoratif dijadikan sebagai pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, Terdakwa/Anak, keluarga Terdakwa/Anak, dan/atau pihak lain yang terkait dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan dan bukan hanya pembalasan.
Dalam perkara pidana anak misalnya untuk mendapatkan perlindungan guna menjaga harkat dan martabat anak, maka anak yang berhadapan dengan hukum diberikan perlindungan khusus dalam penyelesaian perkara pidananya dalam sistem peradilan. Diversi merupakan salah satu bentuk penyelesaian perkara pidana anak untuk menghindari pemidanaan sebagaimana di atur dalam Pasal 1 angka 7 UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, hal ini bertujuan untuk:
a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak,
b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan,
c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan,
d. Mendorong Masyarakat untuk berpartisipasi, dan
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Selanjutnya, dalam proses penyelesaian perkara perdata, Mediasi yang difasilitasi oleh Mediator baik dari pengadilan maupun dari luar pengadilan merupakan bentuk penyelesaian sengketa dengan cara musayawarah untuk mufakat dengan tujuan tercapainya perdamaian yang tepat, efektif, dan dapat membuka akses yang lebih luas kepada para pihak secara berkeadilan dengan berlandaskan kesepakatan yang saling menghormati dan menghargai (win win solution).
Pada proses penyelesaian perkara pidana anak melalui diversi (antara korban dan pelaku) serta perkara perdata melalui mediasi (antara para pihak yang bersengketa) merupakan bentuk penyelesaian perdamaian yang berkeadilan restoratif (restorative justice) dengan tujuan saling Mehahami, Memaafkan, Mengerti dan Melupakan (4M). Atas keberhasilan diversi dan mediasi yang bersifat restorative justice tersebut maka hakim yang menyidangkan dan menyelesaikan perkara akan menerbitkan sebuah penetapan/putusan yang menyatakan bahwa diversi/mediasi berhasil dan memerintahkan para pihak untuk mengakhiri perkara.
Namun beda halnya dalam perkara pidana umum, dengan terjadinya kesepakatan para pihak (Terdakwa/Anak/keluarganya dengan korban/keluarganya) untuk berdamai melalui Restorative Justice yang dibuat secara tertulis, Majelis Hakim tidak lantas menghentikan proses pemeriksaan perkara pidana yang sedang berjalan, melainkan perdamaian yang dilaksanakan dengan Restorative Justice tersebut dijadikan sebagai keadaan yang meringankan bagi terdakwa dalam penjatuhan hukumannya. Artinya proses peradilan dilakukan sampai dengan terbitnya putusan akhir setelah memeriksa perkara secara lengkap.
Peraturan Baru
Pergeseran hukum acara pidana dan perdata di Indonesia telah banyak mengalami perubahan menyesuaikan perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan masyarakat. Diversi merupakan tindak lanjut dari Konvensi Hak-hak anak (Convention on the rights of the child) yang disepakati pada tanggal 20 November 1989 dan mulai berlaku tanggal 2 September 1990, yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 5 September 1990 yang selanjutnya menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Selanjutnya Mediasi, pelaksanaannya dijadikan kewajiban dalam proses penyelesaian perkara perdata di pengadilan sebagai bentuk respon pada kebutuhan dunia bisnis yang berkembang pesat yang memerlukan penyelesaian perkara yang cepat, tepat dan berkeadilan bagi para pihak yang bersengketa.
Selain itu diluar lembaga peradilan di Indonesia juga telah berdiri lembaga Badan Arbitrase Negara Indonesia (BANI) yang tugas dan wewenangnya diatur tersendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbistrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Kehadiran BANI telah menggeser ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227), dan dinyatakan tidak berlaku. Artinya, pergeseran-pergeseran norma hukum acara tersebut dipengaruhi oleh kebutuhan perubahan sosial, teknologi sesuai dengan perkembangan masyarakat yang terus berkembang.
Keadilan Restoratif terhadap perkara pidana anak melalui Diversi dapat ditempuh pada setiap tingkatan proses penegakan hukum, baik itu penyidikan di kepolisian, penuntutan di kejaksaan, dan bahkan setelah dilimpahkan ke pengadilan. Yang mana apabila diversi berhasil pada tingkatan penyidikan dan penuntutan, terdapat laporan kepada Ketua Pengadilan yang menyatakan bahwa diversi berhasil, maka hakim yang memeriksa dan menyidangkan perkara tersebut melaporkan kepada Ketua Pengadilan tentang kesepakatan tersebut dan selanjutnya Ketua Pengadilan menerbitkan Penetapan yang amarnya menetapkan:
1. Menghentikan proses pemeriksaan perkara Anak
2. Memerintahkan Anak tersebut dikeluarkan dari tahanan
3. Memerintahkan Panitera mengirimkan salinan penetapan ini kepada Penuntut Umum dan Anak/Orangtua/Wali.
Dengan telah diterbitkannya penetapan tersebut maka proses pemeriksaan perkara Anak harus dihentikan. Demikian pula dengan pelaksanaan mediasi, apabila para pihak sepakat untuk berdamai, maka mediator melaporkan hasil mediasi tersebut kepada hakim yang memeriksa perkara untuk selanjutnya hakim yang memeriksa perkara menerbitkan putusan berdasarkan Akta Perdamaian (acta van dading). Akta perdamaian tersebut memiliki kekuatan yang sama dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dapat diminta untuk eksekusi.
Namun lain halnya dengan Restorative Justice, apabila perkara selesai dengan Restoratif justice pada tingkat penyidik atau penuntutan, tidak ada laporan kepada ketua pengadilan, yang mana dengan terbitnya penetapan penghentikan perkara pada tingkat tersebut, membuka celah untuk dilakukan praperadilan oleh terdakwa. Sedangkan apabila sudah dilimpahkan ke tingkat pengadilan dan perkaranya diperiksa, jika antara terdakwa dan korban sepakat untuk berdamai maka perdamaian tersebut hanya dijadikan sebagai alasan putusan yang meringankan bagi terdakwa, bukan sebagai alasan untuk menghentikan perkaranya sebagaimana pada diversi dan mediasi.
Dalam perkara tertentu sebagaimana yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili perkara pidana berdasarkan Restorative Justice disebutkan dalam Pasal 2 “Bahwa Hakim mengadili perkara pidana dengan Keadilan Restoratif dilaksanakan berdasarkan asas: pemulihan keadaan, penguatan hak, kebutuhan dan kepentingan Korban, tanggung jawab Terdakwa, pidana sebagai upaya terakhir, konsensualitas; dan transparansi dan akuntabilitas” Kemudian dalam Pasal 3 menyebutkan “Bahwa tujuan Restorative Justice memulihkan Korban tindak pidana, memulihkan hubungan antara Terdakwa, Korban, dan/atau masyarakat, menganjurkan pertanggungjawaban Terdakwa; dan menghindarkan setiap orang, khususnya Anak, dari perampasan kemerdekaan”. Artinya, Restorative Justice itu sendiri diharapkan akan menjadi penyelesaian sengketa pidana antara Terdakwa dan korban atau keluarganya dan dengan telah sepakatnya untuk berdamai, dimana isi perdamaian yang tertuang dalam kesepakatan termuat klausul pembayaran sejumlah kompensasi sebagai pertanggung jawaban Terdakwa terhadap pidana yang dilakukannya yang menyebabkan kerugian bagi pihak korban.
Pengaturan tujuan pemidanaan pada Pasal 51 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP adalah untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa arnan dan damai dalam masyarakat, serta menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Dalam hal Tindak Pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan, jika hal itu dipertimbangkan telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan (Pasal 57 KUHP Baru). Dimana pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan salah satunya terdakwa telah membayar ganti rugi kepada Korban (Pasal 70 ayat (1) huruf e). Sehingga, sudah seharusnya proses perkara tersebut dihentikan pula pemeriksaannya sebagaimana Diversi dan Mediasi dan prosedurnya termuat dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana terbaru.[**]
Penulis: Fitriani SH MH (Hakim Pengadilan Negeri Lhokseumawe)