Senin, 21 April 2025
Beranda / Opini / Politik Meja Makan: Ketika Kuasa Diwariskan, Rakyat Cuma Nonton

Politik Meja Makan: Ketika Kuasa Diwariskan, Rakyat Cuma Nonton

Kamis, 17 April 2025 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Rahmatal Riza

Rahmatal Riza, Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry. [Foto: dokpri untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Di Banda Aceh, politik itu mirip kenduri. Siapa yang punya kuasa, dialah yang bagi-bagi piring. Yang nggak punya kuasa? Cukup tepuk tangan di pinggir halaman, atau kalau nasib baik, kebagian tulang ikan di akhir acara. Bedanya, kalau kenduri biasa habis makan bisa pulang, kalau politik Aceh, rakyatnya terus-terusan disuruh nonton orang yang itu-itu juga duduk di kursi empuk. Bahkan kadang, kendurinya bisa jalan terus bertahun-tahun, kursinya diwariskan dari kakek, ke anak, ke cucu, ke menantu. Rakyat? Ya tetap aja jadi penonton.

Dan yang lebih bikin hati sesak, di tengah ramainya politik meja makan, Banda Aceh justru belakangan dihantui kabar duka yang berulang-ulang. Beberapa waktu terakhir, ada saja berita soal anak muda yang ditemukan mengakhiri hidupnya. Ada yang di kamar kos, ada yang di rumah kontrakan. Bukan soal moral semata, tapi soal sistem sosial yang kadang gagal menyediakan ruang aman untuk bercerita. Kita lebih senang menasihati ketimbang mendengarkan. Tentang betapa anak muda, khususnya perempuan, kerap memikul beban ekspektasi tanpa pernah ditanya: “Apa kau baik-baik saja?”

Ini bukan lagi soal lemahnya iman, seperti yang terlalu mudah kita dengar dari mulut ke mulut di warung kopi. Ini adalah cermin tentang bagaimana perasaan terasing, beban harapan, dan sunyi yang kadang tak punya ruang untuk didengar di tengah hiruk-pikuk kota kecil ini. Di sini lah seharusnya kita mulai bertanya, bukan menghakimi. Tentang relasi sosial yang retak, tentang tekanan yang tak kasat mata, tentang kesehatan mental yang masih dianggap tabu. Sebab di balik setiap tragedi seperti ini, ada cerita panjang yang kita abaikan sampai akhirnya hanya bisa kita kenang.

Belakangan ini, kalau kita mampir ke warung kopi  dari Simpang Lima, Ulee Kareng, sampai Lampriet, obrolan soal politik keluarga makin ramai. Mulai dari abang-abang warung kopi, mahasiswa yang pura-pura ngerjain skripsi, sampai bapak-bapak pensiunan pegawai pemerintah yang masih rajin nongkrong pagi-siang. Semua sibuk membahas soal politik warisan.

Katanya, ada mantan kepala daerah perempuan yang dulu sempat jadi harapan baru, katanya perempuan pertama yang berani melawan dominasi politik laki-laki di Banda Aceh. Awalnya dielu-elukan, dianggap angin segar di antara politisi tua yang hobi peusijuk proyek. Tapi, lama-lama, dia juga ikut-ikutan. Kini keluarganya mulai aktif lagi di politik. Bukan cuma dia, tapi suami, anak, dan kerabatnya pun ikut masuk gelanggang. 

Hinoe, menyoe keun Aneuk jih si nyan, ya lakoe si jeh, masyarakat biasa ya lage haba nyan. Lage tajak jaga meunasah (Di sini, kalau bukan anak si ini, ya suami si itu, masyarakat biasa ya begitulah, seperti jaga meunasah).” celetuk seorang kawan aktivis saat kami ngopi di Lamdingin.

Orang kampung di sini menyebutnya politik meja makan. Urusan jabatan, proyek, dan siapa yang bakal jadi calon legislatif bukan diputuskan di ruang dewan atau forum masyarakat, tapi di ruang makan rumah elite politik. Di atas meja makan itulah segala persekutuan, bagi-bagi jabatan, dan aliran proyek disepakati. Rakyat? Ya cukup disuruh dengar ceramah syariat, nonton peusijuk, lalu dikasih kaos partai pas musim kampanye. Habis itu, selesai. Mau protes? Coba aja, paling-paling dicap “anti syariat” atau “tidak menghormati ulama”.

Yang lebih ironis, praktik ini dibungkus rapi dengan narasi agama. Seolah-olah selama rajin hadir pengajian, pakai kerudung syari, dan sering sebut ‘syariat Islam’ di pidato, maka politik warisan bisa dianggap halal. Padahal, kalau ditanya ke orang tua di meunasah, syariat itu bukan buat menutupi kerakusan. 

Seorang teungku tua di kampung saya pernah bilang, “Syariat nyan keu pegangan hate, bukon keu pelindoeng proyek (Syariat itu untuk pegangan hati, bukan malah melindungi proyek).” Tapi sayang, sue teungku di gampong maken trep maken gadeh, taloe ngoen sue mikrofon caleg. (Tapi sayang, suara tengku di kampung makin lama makin pudar, kalah dengan suara mikrofon calon legislatif).

Proyek infrastruktur, beasiswa, hingga izin usaha, katanya, sering didistribusi ke orang dekat elite politik. Jadi jangan heran kalau drainase mampet tiap hujan, ruang publik makin sempit, dan program pemuda jalan di tempat. Yang diurus lebih banyak soal razia spanduk, soal perempuan pakai jeans, atau soal ukuran jilbab di kantor pemerintahan, daripada masalah banjir atau harga ikan di pasar Peunayong yang tiap minggu naik kayak harga BBM.

Kadang saya suka geli sendiri. Banda Aceh ini kayak kota yang pemimpinnya hobi jadi pemeran tambahan di film action. Daripada sibuk urus birokrasi, atur tata kelola kota, atau cabut izin hotel yang jelas-jelas melanggar aturan, malah lebih sibuk ikut turun ke lapangan razia. Bukannya tinggal keluarkan saja surat keputusan, bereskan secara administratif. Tapi mungkin memang seragam Satpol PP lebih menarik buat pencitraan. Sekali-kali keliling kota, sorot kamera, tegur pedagang kecil, foto selfie sambil bagi-bagi masker. Urusan jalan rusak dan izin usaha ilegal? Ya ntar dululah, nunggu musim kampanye.

Padahal rakyat itu butuh pemimpin, bukan pemeran sinetron penertiban. Tapi ya begitulah, politik meja makan ini kadang membuat jabatan kepala daerah lebih sibuk ngurus kosmetik kota daripada isi perut warganya.

Fenomena ini sebenarnya bukan barang baru. Dari Sabang sampai Merauke, politik dinasti memang hantu lama. Tapi di Aceh, dia lebih licik karena dibungkus syariat. Politik jadi urusan keluarga elite, sementara rakyat cukup diundang pas pemilihan. Habis itu? Tinggal nunggu undangan tahlilan kalau ada pejabat wafat, atau syukuran anak pejabat kawin.

Di banyak kampung, meunasah yang dulu jadi ruang rembuk warga, kini lebih sering dipakai pengajian dan tadarusan. Diskusi tentang harga beras, kondisi kampung, atau siapa kepala desa yang rakus jarang terdengar. Obrolan kritis di meunasah mulai punah, tergantikan oleh ceramah-ceramah kosong yang isinya cuma soal kiamat, soal aurat, dan soal wanita surga. Masalah pemuda nganggur? Ya katanya disuruh rajin shalat. Masalah ekonomi kampung? Ya katanya cukup perbanyak sedekah.

Civil society juga makin jinak. Banyak LSM dan aktivis yang dulu galak, yang demo soal proyek mangkrak dan izin tambang ilegal, kini sibuk urus proposal seminar atau malah jadi tim sukses caleg. Saya pernah tanya ke seorang kawan aktivis yang dulu sempat demo bakar ban depan kantor gubernur, sekarang malah masuk tim pemenangan salah satu caleg. Dia cuma senyum, “Abang, lelah kita kalau terus lawan, makan anak bini tak cukup dengan idealisme.” Begitulah, politik Aceh memang licin. Yang galak bisa dijinakkan, yang kritis bisa dibungkam asal meja makannya cukup panjang.

Lucunya, fenomena ini terjadi di tengah kota yang katanya paling syariat di Indonesia. Banda Aceh sering bangga disebut kota syariat, tapi kalau dilihat dari praktik politiknya, malah kayak pasar malam. Bising, semrawut, dan penuh dagangan politik keluarga. Setiap musim pilkada, wajah-wajah lama bermunculan lagi. Bedanya, kalau dulu ayahnya, sekarang anaknya. Kalau dulu suaminya, sekarang istrinya. Biar nggak bosan, kadang ditambah menantu atau keponakan. Rakyat? Ya cukup dikasih nasi kotak sama stiker.

Saya yakin, kalau anak muda Banda Aceh terus diam, politik meja makan ini bakal langgeng sampai anak cucu kita. Kita butuh keberanian buat bilang cukup. Demokrasi itu bukan buat diwariskan kayak harta pusaka. Harusnya siapa pun yang punya gagasan, integritas, dan niat baik buat rakyat, dialah yang layak diberi kesempatan. Tapi kalau sistemnya tetap begini, jangan harap akan muncul pemimpin baru. Yang muncul ya anaknya, suaminya, atau sepupunya.

Aceh sudah terlalu lama disandera politik keluarga. Syariat itu jangan cuma dipakai buat nutup kepala, tapi juga buat bersihin isi kepala biar kerak tamak itu bisa disingkirkan. Kalau terus dibiarkan, rakyat Aceh cuma akan jadi penonton setia di pesta demokrasi keluarga elite. Kalau kenduri rakyat Aceh cuma jadi tamu, sementara dapur politik tetap dikuasai keluarga yang itu-itu saja.

Dan akhirnya, bukan syariat yang jadi panutan, tapi syarat politik meja makan: asal anaknya, asal keluarganya, asal satu meja makan. Jadi, kalau besok-besok abang-abang di warung kopi tanya, kenapa Aceh begini-begini saja? Ya karena selama ini kita biarkan meja makan itu tetap sama, kursinya tetap itu-itu juga, dan kita cuma sibuk tepuk tangan di pinggir halaman. [**]

Disclaimer:

Tulisan ini adalah opini pribadi penulis, berdasarkan pengamatan sosial, diskusi warga, dan suasana warung kopi di Banda Aceh. Tidak ditujukan untuk menyerang pribadi atau kelompok tertentu, melainkan sebagai refleksi atas fenomena politik lokal yang terjadi di masyarakat.

Penulis: Rahmatal Riza (Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry)

Keyword:


Editor :
Indri

Berita Terkait
    riset-JSI
    dinsos
    inspektorat
    koperasi
    disbudpar