Sabtu, 07 Juni 2025
Beranda / Opini / Prabowo vs LSM: Nasionalisme atau Sekadar Pengalihan dari Korupsi Elite?

Prabowo vs LSM: Nasionalisme atau Sekadar Pengalihan dari Korupsi Elite?

Selasa, 03 Juni 2025 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Firdaus Mirza

DIALEKSIS.COM | Opini - Presiden Prabowo Subianto kembali mengangkat narasi lama, memicu reakasi dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) didanai pihak asing untuk memecah belah bangsa. Dalam pidatonya pada Hari Lahir Pancasila (2/6/2025), ia menegaskan, "Negara-negara asing membiayai LSM untuk mengadu domba kita." Namun, Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia membantah dengan tegas bahwa musuh sesungguhnya bukan LSM, melainkan korupsi yang dilakukan elite.

Dari pro kontra itu memunculkan pertanyaan dipikiran kita semua, apakah tuduhan ini mencerminkan nasionalisme yang murni, atau hanya upaya mengalihkan perhatian dari masalah korupsi dan oligarki yang terus menggerogoti Indonesia?

Narasi label dikatakan Prabowo bukan yang pertama menggunakan narasi "LSM antek asing." Rezim di berbagai negara, seperti Rusia dan Turki, sering memakai taktik serupa untuk membungkam suara kritis. Dalam kajian sosiologi gerakan sosial, ini disebut "represi simbolik" ketika negara tidak perlu menangkap aktivis, cukup mencap mereka sebagai pengkhianat.

Klaim itu dari sebagian orang mengakui kebenarannya, LSM yang kritis terhadap pemerintah sering menerima dana dari luar negeri. Namun, apakah itu lantas membuat mereka alat asing? Janganlah mudah meklaim tanpa melihat realitas dari kerja advokasi mereka, maka tidak selalu seperti itu. Selama mereka transparan dan memperjuangkan kepentingan publik seperti isu antikorupsi, HAM, atau lingkungan mereka tetaplah bagian dari masyarakat sipil. Persoalannya, rezim yang korup tidak suka diawasi.

Respon diungkapkan Usman Hamid dari pernyataan Prabowo tersebut, malahan membuka fakta nyata menyoroti korupsi di kalangan elite politik jauh lebih berbahaya daripada LSM. Ia menyampaikan kalau korupsi di Indonesia bukan sekadar pencurian uang rakyat, tetapi juga mencakup urusan korupsi hukum dimana Undang-undang dibentuk untuk melindungi penguasa.

Belum lagi praktek korupsi ekologis terlihat nyata izin tambang dan sawit dikeluarkan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan. Parahnya lagi terjadi korupsi moral dari para pengusa yang diwariskan kepada keluarga dan kroni.

Prabowo sendiri adalah bagian dari elite lama yang telah berpuluh tahun berkuasa. Alih - alih membersihkan korupsi, menuduh LSM sebagai "provokator" justru mengalihkan perhatian dari persoalan dalam negeri yang sebenarnya.

Jadi apa pesan dapat dimaknai dari pidato Prabowo dipenuhi retorika nasionalisme,"Kita harus berdiri di atas kaki sendiri." Namun, nasionalisme sejati bukan tentang menyerang LSM, melainkan memberantas korupsi yang merugikan rakyat.

Jika benar peduli pada Pancasila, pemerintah seharusnya memberi ruang bagi kritik, bukan mencap LSM sebagai musuh, memberantas korupsi secara serius, bukan melindungi elite, dan menegakkan hukum secara adil, bukan menjadikannya alat kekuasaan.

LSM berperan sebagai penyeimbang kekuasaan dan sering kali lebih nasionalis daripada politisi korup, karena memperjuangkan kepentingan rakyat kecil yang diabaikan negara.

Alih - alih memusuhi LSM, pemerintah sebaiknya berkolaborasi untuk kemajuan bangsa. Jika ada LSM yang bermasalah, proses hukum yang transparan harus dijalankan bukan stigmatisasi massal.

Pencermatan penting dari pidato Prabowo mungkin ingin kita fokus pada "ancaman asing," tetapi musuh terbesar Indonesia tetaplah korupsi dan oligarki. Daripada curiga pada LSM, lebih baik menuntut akuntabilitas dari penguasa.

Nasionalisme sejati bukan tentang menuding pihak lain, melainkan memastikan negara benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir elite.

Penulis: Firdaus Mirza Nusuary, M.A., Dosen FISIP Universitas Syiah Kuala

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI