kip lhok
Beranda / Opini / Problem Tes Uji Mampu Baca Quran untuk Pejabat Publik di Aceh

Problem Tes Uji Mampu Baca Quran untuk Pejabat Publik di Aceh

Senin, 09 September 2024 18:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
TM Jafar Sulaiman

T. Muhammad Jafar Sulaiman. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Ayat Suci Al Quran, kalam Allah yang terus menerus akan ada adalah petunjuk bagi manusia, jalan keselamatan manusia dan kemuliaan manusia. Firman Allah ini adalah untuk memuliakan manusia, bukan menjadi media untuk mempermalukan manusia, tidak menjadi media untuk melakukan penghukuman akhlak, penghukuman sosial, penghukuman moral apalagi untuk meruntuhkan martabat manusia, karena Allah sendiri telah memuliakan manusia.

Ketika Tuhan begitu memuliakan manusia, dalam banyak prakteknya, manusia sendirilah yang tidak memuliakan sesama manusia. Berdasarkan kuasa yang dimilikinya, baik kelembagaan maupun secara person, manusia bertindak untuk tidak memuliakan manusia lainnya berdasarkan sentimen, berdasarkan perbedaan pilihan politik, berdasarkan identitas dan lain sebagainya, padahal Allah memuliakan manusia tanpa tendensi status apapun dan dalam bentuk paling universal. 

Allah menyebutkan dalam al-Qur’an QS. Al-Isra’ [17]: 70 yang artinya “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.

Imam Fakhruddin Al-Razi (544-704 H) dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib (Vol. 21, h. 13) menjelaskan perihal ayat ini dengan penjelasan yang sangat menarik. Menurutnya, manusia adalah komponen paling halus (jauhar) yang tersusun dari jiwa (nafs) dan jasmani (badan). Lanjutnya, jiwa manusia adalah jiwa yang paling mulia yang ada di dunia (‘alam al-sufla) begitu juga dengan jasmani manusia. Disamping lima ciri manusia (Makan (ightidza’), berkembang (al-numwu), berkembang biak (al-taulid), perasaan (al-hasasah), dan bergerak, manusia memiliki ciri khas lain, yaitu, kekuatan intelektual untuk mampu mengetahui hakikat sesuatu (al-quwwah al-’aqilah al-mudrikah lihaqaiqi al-asyya’ kama hiya). Kekuatan inilah yang menjadi tempat bersinarnya cahaya ma’rifat kepada Allah, intinya adalah manusia makrifat kepada Allah.

Kesadaran yang paling penting yang harus ada pada semua manusia yang hidup adalah kesadaran untuk memuliakan manusia, bukan kesadaran untuk mengukur-ngukur tingkat kesadaran manusia, apalagi mengukur-ukur tingkat kesalehan, tangkat keagamaan dan tingkat kefasehan manusia. 

Kesadaran akan kemuliaan manusia ini dapat kita temukan dalam sikap dan perilaku nabi dalam berda’wah dan menyampaikan amanat sebagai Rasullah. Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri (2015,201) dalam kitabnya, Al-Insaniyyah Qabla Al Tadayyun (kemanusiaan sebelum beragama), mengutip satu cara ketika Nabi Muhammad menyampaikan da’wahnya. Ketika awal-awal Nabi diangkat menjadi Rasul, ada seseorang yang bertanya kepada Nabi, apa yang Allah perintahkan untuk engkau sampaikan?. Nabi menjawab, “menyambung tali persaudaraan, membendung pertumpahan darah sesama manusia, mengamankan kondisi jalan (tidak terjadi pembajakan dan perampokan), baru setelah itu untuk meng-Esa-kan Allah.”

Namun, tujuan mulia melalui ayat- ayat suci ini tidak terjadi di Aceh, segala unsur seperti yang dipraktekkan Rasulullah Muhammad yaitu menyambung tali persaudaraan misalnya, sama sekali belum terjadi di Aceh, apalagi terkait kontestasi politik. Fenomena ini dapat kita lihat secara jelas dari praktek Tes Uji mampu baca Al Quran bagi Calon Kepala Daerah di Aceh. Jika kita amati, meskipun atas nama jihad penegakan syariat Islam melalui kekhususan Aceh, untuk menunjukkan bahwa Aceh berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia dan sekalipun atas ikhtiar untuk menundukkan politik dibawah agama.

Namun secara tidak sadar, yang terjadi justru sebaliknya, Tes uji baca Al Quran yang berisi ayat - ayat suci Al Quran justru menjadi ajang yang berorientasi melakukan penghukuman moral, penghukuman sosial, penghukuman psikologis serta bertujuan untuk mempermalukan manusia yang sangat bertentangan dengan spirit utama Islam yaitu memuliakan manusia. Akhirnya bertabrakan, tidak sinkron antara tujuan mulia yang ingin dicapai antara menegakkan nilai - nilai Islam di Aceh dengan hasil yang didapatkan. ini semua terjadi karena ego spiritual, ego sektoral, ego teritori yang selalu ingin tampil beda dengan daerah - daerah lain diluar Aceh, tidak ada yang signifikan.

Tanpa sadar, kita mabuk, kita terhipnotis, kemudian menjadi ektase bahwa tes uji mampu baca Al Quran adalah untuk menegakkan syariat Islam tersebut, namun hasil akhirnya adalah tindakan itu justru mendegradasi syariat Islam itu sendiri, justru meruntuhkan marwah dan martabat paling mulia dari syariat Islam itu sendiri dan hanya menjadikan syariat Islam sebagai bahan parodi, menjadi bahan satire, baik bagi orang Aceh sendiri maupun bagi orang - orang di luar Aceh. Kita tidak mungkin menyalahkan orang banyak ketika misalnya kebanyakan manusia berseru, “sekian puluh tahun syariat Islam ada di Aceh, hanya menghasilkan calon pemimpin yang tidak lancar membaca Al-Quran”, karena yang paling bersalah adalah siapa saja yang punya otoritas dibidang agama dan syariat Islam di Aceh, mengapa dari praktek syariat Islam hanya menghasilkan calon pemimpin seperti itu.

Bahwa benar selama puluhan tahun syariat Islam di Aceh hanya menyasar rakyat kecil dan tidak pernah menjangkau elit. Namun juga tidak benar ketika dikatakan bahwa agar syariat Islam bisa menjangkau elit, maka diadakanlah tes uji baca Al Quran agar rakyat bisa menghukum dan mempermalukan elit calon pemimpin, karena sejatinya pemimpin dan rakyat itu harus saling memuliakan dan saling mendoakan, pemimpin memuliakan rakyat dan rakyat memuliakan pemimpin, pemimpin mendoakan rakyatnya dan rakyat juga mendoakan pemimpin.

Hubungan indah ini akan terjadi ketika pemimpin dan rakyat sama - sama di ridhai Allah, lantas dari mana Allah ridha ketika ayat - ayat sucinya tersalah gunakan, bukan untuk menegakkan agama, tetapi menegakkan supremasi politik, menegakkan supremi otoritas agama bahwa supaya pihak tertentu terlihat benar, maka mesti ada yang disalahkan, bahwa agar sebagian kelompok terlihat berwibawa dan saleh, maka harus ada pihak lain yang tidak berwibawa dan tidak saleh, karena kurang atau tidak lancar membaca Al Quran.

Perihal Kepantasan dan Ketidak Pantasan

Sebagai orang Aceh, yang sedari kecil telah terbiasa mendapatkan pendidikan agama dan juga mendapatkan pendidikan baca tulis Al- Quran, kita tentu bisa menarik diri sejenak dan kemudian merenung dalam - dalam, pantas dan patutkah misalnya ketika seorang ulama yang diakui reputasi keilmuan dan intelektualnya yang juga ikut dalam kontestasi poliitk sebagai calon kepala daerah, yang notabene posisinya berada jauh diatas pemimpin, yang jalan hidupnya memang dijalan agama dan selalu mengajarkan Al Quran kemanapun melangkah, yang selalu duduk di depan menjadi pengajar, memberikan pencerahan kepada ummat, kemudian tiba -tiba atas nama menegakkan aturan, didudukkan didepan, lalu ditonton khalayak ramai secara lansung, dan diminta membacaAal-Quran yang memang sudah menjadi kesehariannya ?.

Tambahan logika lainnya adalah ketika para penyelenggara tetap melakukan tes uji baca Al Quran terhadap seorang ulama, berarti sama dengan meragukan kemampuan seorang ulama dengan tes uji baca Al Quran lalu ingin mengetahui sejauh mana kemampuan seorang ulama membaca Al Quran. Lalu kemudian, ketika berdalil bahwa ini untuk menegakkan peraturan dan demi keadilan bagi semua, maka ruang negosiasinya adalah peraturannya yang harus dirubah, UUPA dan Qanunnya yang harus di revisi dan dihilangkan saja tes uji baca Al Quran tersebut. Menghilangkan uji baca Al Quran ini bukan berarti sepakat bahwa ini tidak ada lagi, kita tetap sepakat bahwa pemimpin di Aceh itu tetap wajib harus bisa membaca Al Quran, dan lebih plus ketika bisa menjadi imam shalat, bisa khutbah, karena dia adalah teladan dan contoh bagi rakyatnya, jadi harus serba bisa. 

Tetapi mekanismenya tidak melalu uji mampu baca Al Quran dihadapan publik, mekanismenya bisa melalui dikeluarkannya sertifikat mampu baca Al Quran dari calon pemimpin oleh sebuah lembaga yang dibentuk khusus yang sanget berkompeten, dimana keanggotaan lembaga tersebut bisa gabungan dari MPU, LPTQ dan juga kementrian Agama. Lembaga khusus ini akan mendampingi semua calon-calon kepala daerah yang berminat mengikuti kontestasi pilkada dengan mengatur waktu tertentu, mendampingi mereka sampai mampu dan lancar membaca Al Quran dan ketika mereka mendaftar ke KIP, para calon kepala daerah ini cukup menyertakan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berkompeten tersebut, tanpa perlu melakukan tes uji mampu baca Al Quran lagi.

Jika tetap terus dilakukan tes uji baca Al quran ini, hasilnya akan sama saja, tidak akan ada sebuah perubahan revolusioner di Aceh melalui tes uji baca Al Quran tersebut, karena itu hanyalah pemenuhan proses dan tahapan politik, tidak akan ada relevansinya dengan menghasilkan kebaikan, kemaslahatan, persaudaraan, yang terjadi justru sebaliknya, saling menghina, saling mencaci, saling menjatuhkan tepat ketika tes uji baca Al Quran itu selesai di laksanakan. Lihat saja di lini masa sosial media, banyak sekali yang memparodikan, mengolok - olok, menjadikan bahan mainan proses tes uji baca Al Quran tersebut, rekam jejak ini tidak akan mungkin hilang dan inilah warisan berharga generasi sekarang untuk generasi masa depan.

Yang juga sangat memilukan adalah, ketika yang punya otoritas dengan bangganya menyatakan bahwa proses tes uji baca Al Quran ini sebagai bukti kekhususan Aceh, namun bagaimana jika proses didalamnya sangat politis, sangat memungkinkan dan sangat besar peluang jika proses didalamnya ada intrik dan ada permainan tertentu, hasilnya kan sama saja, karena rumusnya adalah tidak ada hasil yang baik jika ada proses yang tidak baik. 

Semua juga tahu bahwa tidak mungkin ada yang tidak lulus, semua pasti akan lulus, kecuali memang sudah parah sekali, bisa jadi ada satu dua orang yang tidak lulus, karena tidak mungkin berkelit lagi. Out put nya adalah gugurnya dalil dbahwa itu semua demi menegakkan peraturan, kita semua tentu mengetahui bahwa ada proses-proses yang bermasalah, tidak normal dan ada yang janggal dari proses ini, seperti pernah ditemukan ada teks latin dalam Al Quran, microfon yang mati dan berbagai hal lainnya.

Dalam peraturan juga disebutkan bahwa calon dinyatakan lulus jika “mampu” membaca Al Quran, bukan bisa dan tidak bisa membaca Al-Quran. kata “mampu” tentu sangat abstrak dan politis, beda dengan kata “bisa” dan “tidak bisa”. Di kata mampu itu besar sekali ruang negosiasinya, sedangkan jika “bisa” dan “tidak bisa”, itu hitam putih. Jika bisa, berarti dia mampu dan lancar mengaji Al Quran sesuai dengan standar, dan “tidak bisa”, tentu dari awalpun tidak akan mampu, tidak bisa sama sekali atau jika dipaksakan akan terbata-bata. 

Khusus untuk urusan politik, aturan itu merujuk pada pasal 13 Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilu DPR Aceh dan DPR kabupaten/kota di Aceh, sebagaimana diamanatkan dalam UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang merupakan dasar penyelenggaraan otonomi daerah di Aceh. Pasal 24 ayat 1 huruf h menyatakan salah satu syarat untuk menjadi calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota adalah mampu membaca Al Quran.

Apa yang sebenarnya Diinginkan?

Sebenarnya apa yang dikejar dan dinginkan melalui test uji mampu baca Al quran ini ?. Untuk menegakkan syariat Islam, marwah, harga diri dan ingin tampak berbeda dengan daerah - daerah lain ?. Apakah ada relevansi antara Uji mampu baca Al Quran ini dengan leadership ?. Jika demi mengejar kekhususan di bidang ini, lebih baik Aceh mendapatkan keistimewaan - kekhususan lain yang jauh lebih penting dan punya relevansinya dengan kesejahteran, kemakmuran, bisa menyiapkan kader pemimpin yang cerdas, berakhlak mulia dan berilmu semesta. 

Sebagai sebuah daerah yang luluh lantak karna konflik, bencana dan berbagai problem ketidak adilan dimasa lalu, Aceh misalnya berhak untuk mendapatkan keistimewaan bisa punya kuota khusus agar anak - anak Aceh diterima tanpa tes untuk masuk perguruan - perguruan tinggi ternama di Indonesia, bisa diterima tanpa tes untuk kuliah di pertambangan, perminyakan, Teknik nuklir, Kedokteran, Teknologi dan informasi terkini, teknologi pertanian terkini dan berbagai jurusan lainnya yang sesuai dengan kebutuhan kemajuan bangsa dan negara. 

Kekhususan dengan banyak anak-anak Aceh yang cerdas dan berbakat melalui pembinaan khusus bisa dipersiapkan sebagai akademisi, diplomat, leader, enterpreuner , atlet dan lain sebagainya dengan cara di biayai pendidikannya mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi, atau kekhusan lainnya yaitu pemerintah Indonesia memfasilitasi dan menanggung biaya anak - anak Aceh terbaik untuk bisa magang di perusahaan - perusahaan besar dunia seperti Google, Microsoft, Apple, Amazon, Virginia, Tesla, sampai bisa mendirikan perusahaa-perusahaan sendiri, lebih baik mendapatkan kekhususan di bidang seperti ini, dari pada kekhususan di bidang Uji mampu baca Al Quran.

Dalam banyak kehidupan yang sudah dijalani Aceh, kita sering berada dipersimpangan dilematis yang terus terjadi berulang - ulang, yaitu ketika dengan pilkada orang - orang Aceh bertujuan untuk memilih pemimpin - pemimpin yang dianggap kapabel dan berkualitas, justru yang terjadi adalah dari awal kita sudah mempermalukan pemimpin yang nantinya juga akan dipilih. Lantas ketika pemimpin itu menangpun, kita telah memiliki pemimpin yang dari awal sudah kita permalukan sendiri dihadapan publik, lalu kita semua menjadi rakyat dari pemimpin tersebut. Summa Dilemma !!!

Sejatinya, membaca Al Quran itu sudah menjadi keseharian orang Aceh, sudah menjadi jalan hidup orang - orang Aceh, jadi kenapa harus di uji - uji lagi apalagi untuk memenuhi persyaratan kontestasi politik. Jika ini terus dilakukan, lama- lama rakyat Aceh akan menjadi warga negara yang inferior, teralienasi dari pusat dunia, teralienasi dari percaturan dunia. Akan menjadi bangsa dengan generasi yang bermental tidak percaya diri yaitu untuk menampakkan kehebatannya atau supaya terlihat hebat mesti harus ada disalahkan dan mesti ada yang harus dipermalukan supaya dia nampak hebat dan namapak benar, ini akan berbahaya sekali. 

Memang tanpa sadar, kita seolah - olah tampil sebagai bangsa yang terus menampkkan diri sebagai bangsa yang superior dibidang agama, padahal, makin itu dipraktekkan, kita makin akan tampil sebagai bangsa yang teralienasi dan terus eksklusif sendiri, sehingga lama - lama akan tersingkir dari segala perubahan dan kemajuan dunia. Ini dibuktikan dengan tidak ada yang berubah, tidak ada kemajuan dan inovasi yang berarti dari setiap kepala daerah yang dihasilkan selain terus menjadi provinsi yang miskin, angka stunting yang tinggi, angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang semakin tinggi, karena kita lebih mementingkan ego agama simbolik ketimbang mementingkan keselamatan dan kesejahteran manusia.

Lalu apa yang seharusnya dilakukan, apa yang seharusnya di uji dari calon kepala daerah di Aceh ?, yang harus diuji dari calon kepala daerah itu ada tiga saja yaitu track recordnya, kapasitas pengetahuannya dan juga kemampuan leadershipnya. 

Tiga hal inilah yang sangat penting di uji di hadapan publik. Apakah calon kepala daerah itu punya track record yang baik atau tidak baik, punya moral yang tidak baik, punya rekam jejak melakukan penipuan, manipulasi, sehingga bermasalah. 

Bagaimana kapasitas pengetahuannya, apakah dia punya pengetahuan yang luas dalam berbagai isu, seperti isu lingkungan, perubahan iklim, isu perempuan dan anak, isu ekonomi, isu politik regional dan kawasan, apakah punya persfektif yang pro kemajuan, yang sesuai dan sinkron dengan perkembangan dunia, apakah mengerti akar persoalan dan bisa memberikan solusi yang tepat, dan apakah dia punya leadership yang bagus yang bisa menyatukan semua menjadi kekuatan besar untuk perubahan. 

Calon pemimpin yang dipilih memang harus punya kapasitas pengetahuan yang luas dan mumpuni, karena dia adalah pimpinan puncak, tempat semua orang bertopang dan bertumpu, karena solusi mengatasi segala permasalahan adalah dengan kebijakan ekonomi dan politik, bukan dengan kebijakan agama.

Semoga dengan ada yang berani dirubah secara revolusioner, Aceh akan menjadi Provinsi yang semakin punya kekhusuan kemakmuran, kesejahteraan dan kekhusan kemajuan yang tanpa batas, melesat jauh, meninggalkan bumi yang penuh kepalsuan atas nama agama. [**]

Penulis: T. Muhammad Jafar Sulaiman (Peminat Kajian Pemikiran Agama, Sosial dan Politik)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda