Beranda / Opini / Qanun KKR Aceh dan Posisi Tawar MoU Helsinki

Qanun KKR Aceh dan Posisi Tawar MoU Helsinki

Rabu, 25 Desember 2024 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Teuku Zulman Sangga Buana

Teuku Zulman Sangga Buana SH. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Belum lama ini, sebuah surat dari Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Ditjen Otda Kemendagri RI) yang meminta agar Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dicabut sempat menjadi perbincangan hangat publik Aceh. 

Qanun tersebut merupakan wujud pelaksanaan salah satu butir esensial Memorandum of Understanding (MoU Helsinki), tepatnya butir 2.3. yang berbunyi, “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.”

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh sebagai salah satu imunisasi bagi perdamaian Aceh dibentuk untuk mengungkap kebenaran terkait dengan kejahatan pada masa lalu. Misalnya, kekerasan yang diinisiasi negara, seperti Daerah Operasi Militer (DOM) dan juga kekerasan yang diciptakan para pihak berkonflik terhadap masyarakat sipil ketika negara melemah.

Bahkan, kompetensi KKR Aceh dimungkinkan untuk menyentuh kejadian 1 Maret 1946 dan setelahnya, seperti “kudeta” terhadap Teuku Nyak Arief sebagai Kepala Residen Aceh oleh Tentara Perjuangan Rakyat (TPR) pimpinan Husin Al-Mujahid yang kemudian merambat menjadi kejahatan massal atas nama revolusi sosial di wilayah Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur (Teuku Kemal Fasya, “KKR Aceh dan Sisi Lain Luka”, Kompas, 27/07/2016).

Sebab itu, permintaan Dirjen Otda Kemendagri RI supaya Qanun Aceh tentang KKR dicabut menunjukkan rendahnya hasrat pemerintah pusat dalam memenuhi butir-butir Kesepakatan Helsinki. Memang, kini, posisi tawar (bargaining position) MoU Helsinki makin dipandang lemah oleh berbagai pihak.

Yang menjadi masalah, sebagian orang Aceh sendiri juga memiliki pemaknaan yang serupa terhadap kedudukan MoU Helsinki. Beberapa tahun lalu, salah seorang tokoh senior Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam sebuah tulisan di media sosial mengatakan MoU Helsinki adalah bangkai. Tulisan itu kemudian direspons dengan tulisan pula oleh seorang akademisi dari salah satu universitas ternama Indonesia dengan judul “Sebuah Bangkai Bernama MoU Helsinki”. Ia bahkan menyimpulkan bahwa MoU Helsinki tidak layak dikatakan bangkai sebab belum pernah lahir dan hidup sebagai sebuah perjanjian internasional (Acehtrend.com, 23/08/2019).

MoU Helsinki tentu saja bukan harga mati yang tidak boleh dikritisi. Akan tetapi, menganggapnya sama sekali tidak berguna adalah sebuah kekeliruan. MoU Helsinki masih perlu dipertimbangkan sebagai salah satu instrumen posisi tawar Aceh terhadap pemerintah pusat, paling tidak, dari sisi hukum, politik, dan moral sekaligus.

Posisi Tawar MoU Helsinki

Dari sisi hukum, meskipun sangat bisa diperdebatkan, masih terbuka kemungkinan MoU Helsinki dianggap sebagai sebuah perjanjian internasional jika ada rasionalisasi bahwa kedudukan GAM pada saat itu adalah belligerent (subjek hukum internasional). Huala Adolf, salah seorang pakar hukum internasional senior Indonesia berpendapat bahwa secara teoretis GAM sudah dapat dikategorikan sebagai belligerent karena telah mendapat pengakuan secara diam-diam dari kalangan internasional, misalnya, dengan keterlibatan pihak ketiga yang memfasilitasi perundingan di Helsinki, Finlandia. (Hukum Online, “Status Hukum GAM dan Nota Kesepahamannya dengan Pemerintah Indonesia”, 1/07/2020).

Di samping itu, jika diketahui secara persis bahwa Hamid Awaluddin, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) pada saat itu, mendapatkan Surat Kuasa (Full Powers) dari Presiden atau Menteri Luar Negeri Indonesia, makin menguatkan status MoU Helsinki sebagai sebuah perjanjian internasional. Berdasarkan prinsip yang sangat mendasar dan dikenal luas dalam lapangan hukum, yaitu asas pacta sunt servanda, setiap perjanjian memiliki kekuatan mengikat. Perjanjian dapat menjadi undang-undang dan harus ditepati oleh para pihak yang membuatnya. Prinsip ini berlaku secara universal dan mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan iktikad baik).

Dengan asumsi itu, secara politik, sebuah perjanjian internasional memiliki posisi tawar tersendiri. Apabila tidak dipenuhi, entitas internasional, setidak-tidaknya yang disebutkan dalam MoU Helsinki, yaitu Crisis Management Initiative (CMI) dan Uni Eropa dapat mengambil langkah-langkah tertentu. Di dalam masyarakat internasional, terdapat jaminan penegakan hukum yang berupa eksternal power, yakni kekuatan yang ada dalam masyarakat internasional itu sendiri. Salah satu bentuknya ialah tindakan lembaga atau organisasi internasional (Purwanto, H. “Kajian Filosofis terhadap Eksistensi Hukum Internasional”, Mimbar Hukum, hlm. 93).

Terakhir, dari sisi moral, MoU Helsinki dapat dijadikan tolok ukur keadaban para pihak. Munir Fuady dalam Teori-Teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum (2013) menjelaskan bahwa antara hukum dan moral ibarat dua sisi mata uang yang dapat menjustifikasi satu sama. Apabila hukum bertentangan dengan moral, hukum dapat diabaikan (lex inuista non est lex).

Keluhuran Sebuah Akad

Sebuah perjanjian haruslah dilihat sebagai sesuatu yang sakral. Para pihak mestinya menunjukkan sikap hormat dan menjunjung tinggi keluhuran sebuah janji yang telah disepakati. Suatu perjanjian dibuat untuk ditepati, bukan untuk diingkari. Selain itu, ia dijalankan bukan semata-mata karena hal-hal seperti kewajiban hukum, kepentingan politik, ataupun faktor ekonomi, melainkan dengan semangat iktikad baik.

Seorang intelektual dan mantan juru runding GAM, Munawar Liza Zainal, dalam sebuah acara peringatan MoU Helsinki di Aceh tahun ini menyebut, “Khususnya MoU Helsinki, itu akad. Akad antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka untuk memajukan Aceh. Itu akad. Kalau akad itu dikhianati sama (seperti) perkawinan, akan ada permasalahan-permasalahan dalam keluarga”.

Akad sering diasosiasikan sebagai sesuatu yang luhur, suci, dan harus ditepati. Sayangnya, surat Ditjen Otda Kemdagri RI yang menyarankan supaya Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR dicabut mengindikasikan tidak ditepatinya sebuah akad.

Perjanjian Helsinki ialah perjanjian untuk mengakhiri konflik 30 tahun. Konflik yang dari sisi waktu berlangsungnya setara dengan Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa yang diakhiri dengan Perjanjian Westphalia”perjanjian yang meneguhkan perubahan besar bagi Eropa dan dunia hingga hari ini.

Harapan kita bersama, MoU Helsinki juga bisa demikian, setidaknya kemajuan besar bagi Aceh. Karena itu, ketimbang bersikap skeptis terhadap Nota Kesepahaman itu, apalagi mengingkari isinya. MoU Helsinki seyogianya dipandang sebagai salah satu instumen penting untuk mewujudkan kemakmuran Aceh. 

Dengan demikian, yang harus dilakukan oleh para pemangku kepentingan, khususnya para pihak yang terlibat langsung dalam perjanjian tersebut adalah fokus pada implementasinya, baik yang belum maksimal maupun yang sama sekali belum terimplementasi. [**]

Penulis: Teuku Zulman Sangga Buana, S.H. (co-founder kantor hukum Ethics Lawyers; Alumni Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala; Anggota International Law Association (ILA) Indonesian Branch)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI