kip lhok
Beranda / Opini / Resonansi Demokrasi di Tanah Rencong

Resonansi Demokrasi di Tanah Rencong

Rabu, 28 Agustus 2024 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Mukhrijal, M.I.P

Penulis: Mukhrijal, M.I.P (Dosen Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Syiah Kuala)


DIALEKSIS.COM | Opini - Aceh kembali menjadi panggung kontestasi demokrasi. Dua nama besar, Bustami dan Muzakir Manaf, kini bertarung memperebutkan kursi gubernur dalam Pilkada 2024. Pertarungan ini bukan sekadar adu popularitas, melainkan pertempuran eksistensi kekuasaan, kepentingan Aceh maupun hasrat diri untuk berbuat memperbaiki Aceh yang akan menentukan arah masa depan Serambi Mekkah.

Bustami, birokrat senior berpengalaman, menjual janji perubahan dan pembaharuan untuk masa depan tanah rencong. Di sisi lain, Muzakir Manaf, mantan panglima GAM yang akrab disapa Mualem, membawa sentimen pelayanan publik optimal, kemandirian ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh. Dualitas ini mengingatkan kita pada konsep "path dependence" yang dikemukakan oleh ilmuwan politik Paul Pierson, di mana pilihan politik masa lalu membentuk lintasan institusional yang sulit diubah.

Pilkada Aceh kali ini merefleksikan dilema yang lebih besar. Seperti yang diungkapkan antropolog Clifford Geertz dalam studinya tentang "Politik Identitas", masyarakat Aceh dihadapkan pada pilihan antara modernitas yang dijanjikan Bustami atau kembali ke akar perjuangan yang diusung Muzakir. Fenomena ini sejalan dengan teori "Modernisasi vs Tradisionalisme" yang dikemukakan oleh sosiolog S.N. Eisenstadt.

Namun, di balik gegap gempita kampanye, tersimpan kekhawatiran yang lebih dalam. Aceh masih menyimpan luka lama konflik yang belum sepenuhnya sembuh. Dalam konteks ini, pemikiran Johan Galtung tentang "Perdamaian Positif" menjadi relevan. Galtung menekankan bahwa perdamaian sejati bukan hanya absennya kekerasan, tetapi juga hadirnya keadilan sosial dan kesejahteraan.

Tantangan bagi siapapun yang terpilih tak ringan. Kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pembangunan masih membayangi dan terjadi di Aceh. Belum lagi tuntutan implementasi syariat Islam yang seimbang dengan realitas multikultur. Situasi ini mengingatkan kita pada konsep "Developmental State" yang diperkenalkan oleh Chalmers Johnson, di mana negara berperan aktif dalam pembangunan ekonomi sambil menjaga keseimbangan sosial-budaya.

Pilkada Aceh kali ini adalah cermin dari apa yang disebut ilmuwan politik Samuel Huntington sebagai "Gelombang Ketiga Demokratisasi". Namun, seperti yang diingatkan oleh Francis Fukuyama, demokrasi bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai pemerintahan yang efektif dan akuntabel.

Apapun hasilnya nanti, Pilkada ini akan menjadi titik penting dalam lintasan sejarah Aceh. Ia bukan hanya tentang siapa yang akan memimpin, tetapi juga tentang arah yang akan ditempuh Aceh dalam kancah politik nasional dan global. Semoga vibrasi demokrasi ini membawa Aceh pada harmoni baru yang lebih cerah, selaras dengan aspirasi rakyatnya dan tuntutan zaman.

Penulis: Mukhrijal, M.I.P (Dosen Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Syiah Kuala)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda