Beranda / Opini / RPJM Aceh Minus Budaya

RPJM Aceh Minus Budaya

Kamis, 30 Januari 2025 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Herman RN

Herman RN, Budayawan dan Akademisi Universitas Syiah Kuala. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Beberapa hari lalu, Gubernur Aceh terpilih, Muzakir Manaf-Fadhlullah membentuk tim penyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh. Banyak ahli dan pakar terlibat di dalam tim ini, termasuk dua orang mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf dan Abudullah Puteh.

Sehari kemudian, Pemerintah Aceh sekarang di bawah Pj Safrizal ZA juga merilis tim penyusun RPJM Aceh untuk periode 2025-2029. Periode kerja ini mengacu pada masa jabatan Gubernur Aceh terpilih. Safrizal mencoba meyelaraskan tim penyusun RPJM Aceh dengan masa kerja gubernur berikutnya.

Dilihat dengan saksama, tim RPJM ‘ala’ Safrizal hanya modifikasi dari tim yang sudah disusun oleh Mualem-Dek Fadh. Kesannya, Pj Safrizal menerbitkan SK tim RPJM Pemerintah Aceh sesuai permintaan Mualem dengan mencoba memasukkan nama-nama orang tertentu sebagai tambahan dan modifikasi.

Pada tim Mualem, Ketua tim penasihat oleh Abu Razak, sedangkan pada tim Safrizal, tidak ada tim penasihat. Adanya hanya tim pengarah yang diketuai oleh Gubernur Aceh, sedangkan Abu Razak berada di posisi anggota tim pengarah bersama Irwandi Yusuf, Abudllah Puteh. Perbedaan lain terlihat pada keterlibatan rektor perguruan tinggi. Tim RPJM Mualem melibatkan para rektor dari perguruan tinggi negeri dan swasta sebagai anggota penasihat. Namun, pada tim RPJM Safrizal tidak melibatkan rektor mana pun.

Perbedaan lain pada pembentukan kelompokan kerja (pokja). Tim RPJM Safrizal membentuk empat pokja yang dibantu dengan satu tim sekretariat dan satu tim penyusun RPJM. Masing-masing pokja diketuai oleh pejabat struktural eselon III di dinas terkait. Pada tim RPJM Mualem, ketua pokja dipegang oleh pakar yang dianggap sesuai dengan bidang pokja. Pada tim Mualem ada sembilan bidang atau pokja. Safrizal menciutkan menjadi empat pokja.

Minus Budaya

Terlepas dari perampingan bidang, tim penyusun yang terlibat dalam SK yang diterbitkan oleh Safrizal lebih ramai jumlah orangnya. Selain itu, baik tim RPJM ala Mualem maupun tim RPJM ala Safrizal, keduanya minus bidang atau pokja budaya.

Ketiadaan pokja Pelestarian dan Pemajuan Kebudayaan dalam tim RPJM Aceh mempertegas karakter ke-Acehan yang selama ini suka mengabaikan kebudayaan dan gemar melupakan sejarah. Terlalu sering kita dengar Aceh hanya punya gemilang masa lalu, lantas nostalgia pada kisah masa silam. Namun, Aceh suka melupakan sejarah dan kebudayaannya sehingga hampir semua sektor pembangunan di Aceh hampa ruang budaya.

Pemerintah Aceh lupa bahwa Indonesia saat ini sudah mencoba bertamadun lebih arif, dengan tidak lagi mencantol bidang kebudayaan pada kementerian pendidikan atau pariwisata. Sekarang sudah ada Kementerian Kebudayaan yang berdiri sendiri, utuh, selayaknya sebuah tamadun yang seharusnya.

Hadirnya Kementerian Kebudayaan secara mandiri tidak lepas dari dorongan dan rekomendasi para pelaku, penikmat, dan penggiat seni budaya di seluruh Indonesia. Akhir tahun 2023 lalu, perwakilan seniman dan budayawan dari seluruh Indonesia bergabung di Ancol, Jakarta Utara. Salah satu Resolusi Ancol yang dilahirkan adalah rekomendasi tegas hadirnya Kementerian Kebudayaan yang mandiri, tidak dicantol pada kementerian lain. Akhirnya, pada saat debat kelima Capres-Cawapres, Februari 2024, topik seni dan budaya dihadirkan sebagai topik tambahan, dari sebelumnya tidak ada.

Hadirnya topik seni dan budaya dalam debat Capres ketika itu sangat menarik, karena pertanyaan yang diberikan panelis: apakah capres setuju hadirnya Kementerian Kebudayaan? Ternyata semua capres sangat setuju sehingga saat ini Kementerian Kebudayaan sudah mandiri. Kelak, Dinas Kebudayaan pun akan mandiri di setiap daerah, tidak lagi gabung dengan unsur lain seperti pendidikan atau olahraga atau pariwisata.

Beranjak dari sini, sudah seharusnya Pemerintah Aceh tidak menafikan bidang seni budaya dalam penyusunan RPJM Aceh. Pemerintah Aceh jangan lupa bahwa Indonesia sudah memandatkan pembangunan ke depan harus memasukkan bidang pemajuan kebudayaan daerah demi menyokong kebudayaan nasional.

Melalui undang-undang nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Pemerintah Indonesia sudah menginstruksikan setiap daerah, mulai kabupaten/kota hingga provinsi agar memiliki perencanaan strategis untuk perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan daerah masing-masing. Keempat hal ini disebut dengan empat pilar pemajuan kebudayaan, yang harus tertuang dengan jelas dalam dokumen Pokok-pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD).

Aceh sudah berupaya menjalankan amanat UU Nomor 5 tahun 2017 itu dengan melahirkan Qanun Kebudayaan, saat ini sudah sampai pada Kementerian Dalam Negeri. Nah, manakala tim RPJM Aceh mengabaikan bidang kebudayaan, untuk apa pula pembentukan Qanun Kebudayaan? Jika sudah seperti ini, bagaimana Aceh menyelaraskan pembangunan kebudayaan Aceh dengan kebudayaan nasional?

Harus dipahami bahwa selama ini, pembangunan di Aceh terlalu sering mengabaikan unsur dan nilai budaya. Oleh sebab itu, kebudayaan Aceh mulai luntur. Bahkan, bahasa Aceh sebagai salah satu unsur budaya tak benda kini sudah dirilis oleh UNESCO sebagai salah satu bahasa yang akan punah. Ini baru satu elemen, yakni bahasa. Betapa pula dengan elemen budaya lainnya seperti ritus, tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, teknologi tradisional, dan seni Aceh? Sampa hari ini, semua nyaris punah.

Oleh karena itu, RPJM Aceh hendaknya tidak menafikan bidang kebudayaan. Pemerintah Aceh melalui gubernur terpilih harus memasukkan satu pokja lagi, yakni Pokja Pemajuan Kebudaayaan yang renstranya mengacu pada PPKD Aceh dan Qanun Kebudayaan Aceh. Pemajuan kebudaayan yang terencana akan mampu menumbuhkan ekonomi heritage bagi Aceh, sehingga bukan hanya UMKM yang disentuh, tetapi juga mampu menarik investor. Pemajuan kebudayaan juga mampu melahirkan politik heritage sebagaimana tertuang dalam Qanun Al-Asyi Meukuta Alam pada zaman kesultanan. Pemajuan kebudayaan yang arif juga dapat memperkuat keberadaan syariat islam dan keistimewaan Aceh lainnya.

Akhirnya, saya sarankan kepada Pemerintah Aceh, bangunlah Aceh dengan berbasis kebudayaan. Bentuklah tim pokja pemajuan kebudayaan dalam RPJM Aceh. Gemilang Aceh pada masa lalu dibangun dengan tamadun, bukan dengan politik kerumun. [**]

Penulis: Herman RN (Budayawan dan Akademisi Universitas Syiah Kuala)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI