Beranda / Opini / Transformasi “Kucing Mengintip Panggang”

Transformasi "Kucing Mengintip Panggang"

Selasa, 10 April 2018 20:03 WIB

Font: Ukuran: - +


Foto: Ist

Oleh: Nurlina *)

Berbicara transformasi, khususnya di Aceh, selalu menarik. Baik ketika masa konflik, atau di saat damai. Transformasi perjuangan dari gerakan masyarakat biasa menjadi perjuangan bernegara, saat konflik, juga menarik untuk dibentangkan kembali, sehingga tersambung dengan kondisi terkini.

Ketika Gerakan Aceh Merdeka (GAM ) mendaulatkan diri sebagai Negara melawan Pemerintah Indonesia, di saat itu ada sebagian orang yang menggembosi untuk mengurangi legitimasi GAM sebagai lokomotif perjuangan Aceh.  Mereka menyatakan bahwa GAM bukan representasi orang ramai (masyarakat Aceh, red).

Di saat GAM mewakili rakyat Aceh bernegosiasi, sekelompok orang pintar itu kemudian mencoba  memasukkan kakinya. Mereka berusaha keras untuk menjadi salah satu pihak yang berunding, mengatasnamakan diri masyarakat sipil. Padahal mereka pekerja-pekerja di NGO, tidak mempunyai basis massa di lapangan.  GAM jelas menolak perundingan tiga kaki yang mereka tawarkan, dan memberikan pilihan kepada kelompok itu untuk bergabung dengan GAM, atau ikut delegasi RI.

Pasca damai, kelompok ini juga yang bergerak melakukan pembusukan, seolah-olah damai itu tidak sempurna, dan transformasi Aceh bersifat GAM-sentris.  Sebagai contoh menarik untuk dibaca, tulisan Otto Syamsuddin Ishak di media online dialeksis.com, berjudul "Transformasi: Belum Selesai!". Di tulisan itu Otto menyampaikan bahwa GAM bermetamorfose menjadi organisasi masyarakat, KPA. Entah karena sudah lama absen karena bertugas di Jakarta, penyampaian Otto itu tidak sesuai dengan fakta.

GAM itu tidak bermetamorfose menjadi KPA (Komite Peralihan Aceh).  GAM itu tetap GAM sebagai rumah induk dengan seluruh anggotanya dari masyarakat Aceh baik kombatan atau masyarakat sipil. Khusus kombatan bersenjata yang dulu bergabung dengan Tentara Neugara Acheh (TNA) itulah yang menjadi KPA. Tidak tepat mengatakan bahwa GAM berubah menjadi KPA.

Menurut sya, suatu yang silap, bila  mengatakan bahwa perubahan di Aceh ini hanya untuk GAM. Lebih silap lagi sampai terbersit di pikiran bahwa selain kombatan tidak menjadi target kesejahteraan Pemerintah Aceh dalam menyusun APBA atau Pergub APBA.

Kelompok ini, mestinya tidak perlu risau dengan keberadaan banyak mantan kombatan dan anggota GAM yang berkiprah dalam politik atau dalam dewan. Bukankah mereka dipilih dalam pemilihan yang demokratis?

GAM dan Pemerintah sudah memberikan jalan demokrasi melalui pemilihan. Dari hasil pemilihan langsung kemudian mereka duduk di legislatif dan eksekutif. Kalau merasa diri pintar atau punya wawasan, silahkan mencalonkan diri untuk dipilih oleh rakyat.

Ada kejadian, di beberapa tempat, sekelompok orang pintar merasa harus menumbangkan calon yang didukung oleh kombatan atau berbackground anggota GAM. Sama-sama ikut dalam pemilihan, dan ternyata mayoritas rakyat masih memilih orang-orang perjuangan yang pernah bersama GAM.

Mereka belum beruntung. Malah sebagian ada yang menentang GAM di dalam dan luar negeri, tetapi di dalam pemilihan, ‘nebeng’ bergandengan tangan dengan pasangan yang diusung oleh GAM.

Dalam mengawal transformasi Aceh, jangan menjadi "kucing menunggu panggang" ditinggal oleh pemiliknya, tetapi ikut dalam menyiangi ikan, sama-sama memanggang untuk sama-sama disantap. Jangan jadi kucing pengintip panggang. Banyak perkembangan yang terjadi di Aceh menyangkut dengan kesejahteraan. Hanya orang ku’eh saja yang mengatakan bahwa transformasi sosial kesejahteraan Aceh masih nol! []

*) Penulis adalah Pegawai Negeri Sipil, pernah menjadi Bendahara KPA Sabang.

Keyword:


Editor :
Sammy

riset-JSI
Komentar Anda