Minggu, 12 Oktober 2025
Beranda / Opini / Trok Heut Atawa Terhujut Cita-Cita: Tafsir Abu Laot atas Pendidikan Aceh

Trok Heut Atawa Terhujut Cita-Cita: Tafsir Abu Laot atas Pendidikan Aceh

Minggu, 12 Oktober 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Nasruddin Nyak Dhien

Nasruddin alias Nyak Dhien Gajah mantan tahanan politik/narapidana politik (Tapol/Napol) Aceh  sekaligus Jubir Relawan Mualem Dek Fadh


DIALEKSIS.COM | Opini - Abu Laot bukan sekadar nama, bukan pula gelar yang singkat diingat lalu dilupakan. Ia adalah tafsir kebijaksanaan Aceh yang menjelma dalam satu sosok: Murthalamuddin seorang anak nelayan yang kini memimpin Dinas Pendidikan Aceh dengan cara pandang yang tak biasa.

Dalam setiap kata dan gerak, Abu Laot menghadirkan samudra pengetahuan. “Abu” menjadi penanda bagi orang yang dituakan, pembawa pencerahan, sementara “Laot” adalah simbol keluasan ilmu dan kedalaman pengalaman. Keduanya berpadu menjadi metafora tentang pendidikan yang membumi dan mencerdaskan, bukan sekadar mencetak ijazah.

Murthalamuddin atau Abu Laot dalam tafsir kebudayaan rakyat datang bukan dari ruang ber - AC dan meja birokrasi yang dingin. Ia datang dari arus bawah: dari percakapan para nelayan, dari tangan petani yang berlumur lumpur, dari mak-mak penjual tiram di pinggir pantai. Ia membaca Aceh bukan dari laporan statistik, tapi dari mata rakyat yang hidupnya bersentuhan langsung dengan tanah dan laut.

Gaya komunikasinya di media sosial menggambarkan filosofi yang sederhana namun dalam: ilmu tidak boleh tinggal di menara gading. Ia harus turun ke lumpur sawah, menyelam ke dasar laut, dan berdebu di jalanan. Pendidikan, bagi Abu Laot, bukan soal angka kelulusan, tapi tentang keberdayaan manusia.

ceh telah lama berbicara tentang “revitalisasi pendidikan”, tapi sering lupa akar dari kata “pendidikan” itu sendiri: mendidik manusia agar hidup berguna bagi sesama. Abu Laot membaca ulang makna ini lewat bahasa lokal: meuhaba, meugrak, meugura  menumbuhkan, bergerak, dan memberi hasil.

Ia membayangkan sekolah bukan lagi tempat hafalan, melainkan ladang praktik. Murid SMK belajar bukan hanya memperbaiki mesin, tapi merintis bengkel sendiri. Siswa pertanian menanam yang bisa dijual, bukan sekadar memenuhi nilai rapor. Pendidikan harus menjadi pintu menuju kemandirian ekonomi, bukan jalan memanjang menuju pengangguran.

Dalam banyak kesempatan, Abu Laot berbicara tentang kemandirian fiskal Aceh. Di dunia pendidikan, tafsir itu bermakna jelas: membangun sistem yang tidak tergantung pada pusat. Dana Otonomi Khusus Aceh, yang selama ini besar dan melimpah, belum sepenuhnya mengubah wajah pendidikan. Abu Laot tampaknya ingin mengubah arah itu mendorong agar dana Otsus digunakan secara kontekstual, membangun sekolah berbasis ekonomi lokal, mendanai riset yang relevan, serta memberdayakan guru sebagai motor perubahan sosial.

Kemandirian, dalam tafsir Abu Laot, bukan hanya soal anggaran, tapi juga soal pikiran. Anak muda Aceh mesti dilatih berpikir kritis, tidak sekadar menunggu lapangan kerja, tapi menciptakannya.

Dalam berbagai unggahan videonya, Abu Laot kerap menyoroti potret rakyat kecil”penjual tiram, petani, nelayan, hingga anak-anak pemotong jerami. Semua itu bukan kebetulan. Ia sedang membangun narasi bahwa pendidikan Aceh harus lahir dari kesadaran sosial. Anak sekolah Aceh mesti tahu bagaimana orang tuanya berjuang. Nilai gotong royong, adat, dan kerja keras tidak boleh terkubur oleh kurikulum modern yang kering makna.

Dari cara pandangnya, mungkin kelak akan lahir Sekolah Meutaloe Nanggroe sekolah yang menanamkan cinta tanah air Aceh bukan lewat slogan, tapi lewat aksi nyata di desa. Sekolah yang mengajarkan muridnya bagaimana hidup bersama, bukan sekadar bersaing.

Bagi Abu Laot, guru bukan pegawai pencatat absen, melainkan intelektual rakyat. Mereka harus jadi jembatan antara ilmu dan kehidupan. Guru yang menulis, meneliti, berdiskusi, dan memimpin gerakan sosial bukan hanya pengisi jam pelajaran.

Sekolah pun dihidupkan kembali sebagai ruang diskusi. Siswa diberi panggung untuk menyampaikan ide, kritik, dan solusi. Pendidikan bukan tempat diam, tapi ruang berpikir dan berkarya. Murthalamuddin, lewat retorika dan simbolisme komunikasinya, sedang menggiring arah pendidikan Aceh ke masa depan yang lebih terbuka, kreatif, dan berkarakter.

“Abu” dan “Laot” adalah dua suku kata yang sarat makna. Dalam tradisi Aceh, “Abu” adalah simbol bagi mereka yang berilmu dan berjiwa pembimbing. Ia membakar dirinya untuk menerangi sekitar seperti abu yang tersisa setelah api menyala.

Sementara “Laot” adalah metafora tentang kehidupan dan ilmu yang luas. Laut mengajarkan kesabaran, ketekunan, dan kerendahan hati; luas tapi menampung segalanya. Dalam diri Murthalamuddin, dua simbol ini menyatu: guru yang membakar diri di tengah samudra kehidupan rakyat.

Jika dibaca dengan kacamata seni budaya, maka “Abu Laot” bukan hanya nama pribadi, tapi konsep estetika sosial. Ia adalah seni yang hidup di tengah masyarakat menghidupkan kesadaran lewat bahasa, gambar, dan tindakan.

Video - videonya tentang kehidupan rakyat kecil bukan sekadar konten hiburan. Ia adalah performans seni sosial, melukis wajah Aceh dengan medium kehidupan sehari-hari. Dalam setiap potongan video, ada pesan moral tentang kerja keras, solidaritas, dan penghormatan terhadap budaya lokal.

Dengan cara itu, Abu Laot menghadirkan pendidikan yang estetis sekaligus spiritual: pendidikan yang mengajarkan keindahan hidup sederhana, tanpa kehilangan cita-cita besar.

Kini, Abu Laot tengah meniti gelombang besar. Laut yang ia simbolkan bukan sekadar air, tapi samudra ilmu dan pengalaman. Dalam tafsir Abu Master, jika cita-cita itu trok heut atawa terhujut terwujud sungguh-sungguh maka pendidikan Aceh akan lahir kembali sebagai mercusuar baru: yang memanusiakan manusia, menumbuhkan akal sehat, dan menegakkan keadilan lewat pengetahuan.

Pendidikan yang bukan hanya untuk hidup, tapi juga menghidupkan.

Penulis: Nasruddin alias Nyak Dhien Gajah mantan tahanan politik/narapidana politik (Tapol/Napol) Aceh sekaligus Jubir Relawan Mualem Dek Fadh

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
bank aceh