DIALEKSIS.COM | Aceh - Lencana di dada menandakan mereka mendapat penghargaan sebagai orang terhormat di Aceh. Sebagai wakil rakyat berbagai fasilitas mereka dapatkan. Termasuk soal tunjangan rumah.
Soal tunjangan rumah untuk mereka yang mengesahkan qanun di Aceh, ada drama yang menarik untuk diikuti. Rumah dinas sudah disediakan, namun anggaran untuk tunjangan rumah dinas masih menguras uang rakyat.
Anggota DPRA sudah punya rumah dinas di Jalan Tgk. Syeh Mudawali No. 16, Gampong Baru, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. Rumah untuk wakil rakyat ini sudah ada sejak tahun 2020.
Namun walau sudah tersedia rumah dinas, anggota DPRA tetap menerima tunjangan perumahan. Soal tunjangan rumah dinas selama periode 2020 hingga 2025, mengalami pasang surut.
Berdasarkan penelusuran data publik yang dilacak redaksi Dialeksis, tunjangan rumah untuk wakil rakyat Aceh sempat dianggarkan besar pada 2020. Kemudian dihentikan dalam tiga tahun berikutnya, dan kembali muncul secara terbatas pada 2024.
Berikut gambaran lengkap trend anggaran tunjangan rumah DPRA per tahun, termasuk besaran yang diterima per anggota dan perubahan kebijakannya yang dirangkum redaksi Dialeksis.
Tahun 2020 meskipun Pemerintah Aceh sebenarnya telah menyediakan kompleks rumah dinas untuk semua pimpinan dan 77 anggota dewan, namun setiap anggota DPRA tetap menerima tunjangan rumah Rp 10 juta per bulan (termasuk Ketua dan Wakil Ketua dalam jumlah yang sama).
Untuk 81 orang anggota DPRA, total anggaran yang terkuras mencapai Rp 9,72 miliar. Tunjangan tersebut awalnya tidak dianggarkan dalam APBA murni 2020, namun kemudian dialokasikan melalui Pergub perubahan APBA 2020 pada November.
Dana ini diambil dari dari pos Belanja Tak Terduga (BTT) penanganan Covid-19 dan pergeseran pos lain. Kebijakan mendadak ini menuai sorotan tajam dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Aceh atas APBA 2020, ada catatan per September 2020, seluruh rumah dinas DPRA sebenarnya sudah siap dihuni lengkap dengan meubelair baru hasil pengadaan senilai Rp 10,65 miliar pada 2020.
Namun, hingga akhir 2020 ternyata 5 orang anggota DPRA tidak mengambil kunci rumah dinas. Mereka memilih tinggal di rumah sendiri, agar tetap mendapat tunjangan tunai. Atas kondisi ini, BPK menghitung terjadi kelebihan pembayaran tunjangan perumahan sebesar Rp 2,685 miliar (periode September - Desember 2020) yang seharusnya tidak dibayarkan karena rumah dinas sudah tersedia.
BPK merekomendasikan Gubernur Aceh dan Sekretaris DPRA untuk menghentikan pemberian tunjangan rumah bagi anggota dewan yang telah disediakan fasilitas rumah dinas. BPK meminta kelebihan anggaran Rp 2,68 miliar itu dikembalikan ke kas daerah.
Pasca temuan BPK tahun 2020, tren anggaran tunjangan rumah DPRA menurun drastis. Menjadi nol pada 2021 dan tetap nihil hingga 2023. Sejak awal 2021, Pemerintah Aceh tidak lagi menganggarkan tunjangan perumahan bagi para anggota DPRA.
Sejalan dengan aturan PP No. 18 Tahun 2017 yang melarang pemberian tunjangan perumahan apabila pemerintah daerah telah menyediakan rumah jabatan bagi dewan. Seluruh anggota DPRA periode 2019 - 2024 akhirnya menempati rumah dinas yang telah disiapkan di komplek Kuta Malaka, Aceh Besar, sehingga kompensasi uang perumahan tidak diberikan lagi.
Sebagai gantinya, alokasi APBA untuk legislatif difokuskan pada pemeliharaan fasilitas rumah dinas. Contohnya, APBA 2022 menganggarkan Rp 2,62 miliar untuk pemeliharaan rumah dinas pimpinan dan anggota DPRA serta Rp 299 juta untuk rumah dinas Ketua DPRA.
Kebijakan ini menunjukkan pergeseran, artinya daripada tunjangan tunai, pemerintah menanggung biaya perawatan rumah jabatan agar tetap layak huni. Sempat muncul kontroversi, publik mengkritiknya.
Pada 2021, beredar kabar rencana renovasi rumah dinas Ketua DPRA senilai Rp 1,2 miliar yang akhirnya dibatalkan, setelah mendapat kritik publik. Secara umum tidak ada tunjangan perumahan rutin yang dinikmati anggota DPRA dalam kurun 2021 hingga 2023.
Hal ini konsisten dengan rekomendasi BPK dan aturan yang ada, sehingga anggaran tunjangan rumah yang tadinya membengkak pada 2020 turun menjadi Rp 0 selama tiga tahun tersebut.
Memasuki akhir 2024, seiring pelantikan anggota DPRA periode baru (2024ā“2029) pada 30 September 2024, pos tunjangan perumahan kembali muncul, meski bersifat sementara. Kondisi ini mirip dengan transisi 5 tahun sebelumnya.
Anggota DPRA hasil Pemilu 2024 yang baru dilantik belum langsung menempati rumah dinas peninggalan pendahulunya. Karena diperlukan penyesuaian dan pengadaan perabot tambahan agar layak huni bagi penghuni baru.
Untuk mengakomodasi masa transisi tersebut, dalam APBA Perubahan 2024 diusulkan lagi tunjangan rumah Rp 10 juta per anggota per bulan. Jika dikalikan 81 anggota dan proyeksi kebutuhan beberapa bulan, alokasi anggaran tunjangan ini mencapai sekitar Rp 2,43 miliar pada akhir 2024.
Kebijakan mengembalikan tunjangan perumahan ini mendapat sorotan. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Pj. Gubernur Aceh sempat mengingatkan agar DPRA tidak mengalokasikan anggaran untuk kepentingan pribadi, dan menyoroti belanja tunjangan perumahan DPRA dalam APBA-P 2024 yang dianggap ātidak rasionalā.
Artinya, pemerintah pusat mengingatkan agar Aceh berhati-hati menganggarkan tunjangan rumah. Mengingat fasilitas rumah dinas sebenarnya sudah tersedia. Meski demikian, tunjangan ini bersifat terbatas selama rumah dinas anggota DPRA baru belum sepenuhnya siap pakai.
Setelah rumah jabatan selesai diserahterimakan dan dilengkapi untuk anggota periode baru, tunjangan perumahan tunai tersebut dihentikan kembali.
Memasuki tahun anggaran 2025, tren berlanjut bahwa tidak ada lagi tunjangan perumahan rutin yang dialokasikan bagi anggota DPRA Aceh. Seluruh anggota dewan periode baru diharapkan menempati rumah dinas yang sudah disediakan, sehingga tidak berhak menerima tunjangan rumah sesuai aturan.
Fokus anggaran bergeser pada rehabilitasi dan peningkatan fasilitas rumah dinas. Bahkan, pada 2025 Sekretariat DPRA mengelola sejumlah proyek renovasi, antara lain rehab Rumah Dinas Ketua DPRA dengan pagu Rp 4,7 miliar serta beberapa perbaikan ruang komisi dan fraksi di gedung dewan.
Langkah ini konsisten dengan kebijakan sebelumnya: memastikan rumah jabatan layak huni dan representatif, alih-alih memberikan tunjangan tunai kepada anggota dewan.
Secara keseluruhan, data menunjukkan tren tunjangan rumah DPRA Aceh menurun bila dilihat dalam rentang 2020ā“2025. Tahun 2020 menjadi puncak tertinggi dengan Rp10 juta per anggota per bulan (total hampir Rp10 miliar setahun). Namun setelah evaluasi, tahun 2021 hingga 2023 tunjangan tersebut ditiadakan sama sekali.
Upaya menghadirkan kembali tunjangan perumahan di akhir 2024 hanya bersifat sementara untuk anggota baru dan mendapat pengawasan ketat. Hingga 2025, tidak ada tunjangan rumah yang berjalan bagi anggota DPRA, menandai komitmen untuk mengikuti aturan bahwa fasilitas rumah dinas dan tunjangan tunai tidak boleh diberikan bersamaan.
Ringkasan per tahun:
Dengan demikian, tren tunjangan rumah DPR Aceh cenderung menurun setelah 2020: dari realisasi tinggi di 2020, menjadi nihil pada 2021 - 2023, dan hanya muncul kembali secara terbatas di 2024 sebelum akhirnya dihapus lagi.
Kebijakan ini selaras dengan dorongan transparansi dan efisiensi anggaran, agar fasilitas yang sudah ada dimanfaatkan sepenuhnya ketimbang memberikan tunjangan tunai yang membebani APBA tanpa dasar hukum yang kuat.
Ke depannya, diharapkan tidak ada lagi pos tunjangan rumah ganda bagi anggota DPRA, sehingga anggaran Aceh dapat lebih difokuskan untuk kepentingan publik daripada menunjang kenyamanan pribadi wakil rakyat.
Di pundak mereka tersemat harapan rakyat untuk menata negeri ini. Bukan menghabiskan uang rakyat untuk kepentingan pribadi, namun melihat rakyat dengan sentuhan nurani.