Senin, 04 Agustus 2025
Beranda / Parlemen Kita / Dua Rektor Sambut Usulan Fraksi Golkar Aceh: “Riset Butuh Dana, Bukan Sekadar Narasi”

Dua Rektor Sambut Usulan Fraksi Golkar Aceh: “Riset Butuh Dana, Bukan Sekadar Narasi”

Senin, 04 Agustus 2025 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Rektor Universitas Malikussaleh, Prof. Dr. Ir. Herman Fithra, ST, MT, IPM, ASEAN.Eng dan Rektor Universitas Teuku Umar, Prof. Dr. Drs. Ishak Hasan, M.Si. Foto: kolase Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Gagasan untuk mengalokasikan 1 persen Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh secara khusus bagi riset daerah mencuat dari Fraksi Partai Golkar DPR Aceh. Dalam rapat paripurna akhir Juli lalu, fraksi berlambang pohon beringin ini menekankan pentingnya riset sebagai instrumen strategis dalam meningkatkan kualitas kebijakan dan arah pembangunan di Aceh.

Gagasan ini lahir dari keprihatinan atas minimnya alokasi dana riset dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) selama ini. Banyak kebijakan daerah lahir tanpa basis kajian ilmiah, lebih banyak didorong oleh intuisi atau kompromi politik jangka pendek. Fraksi Golkar menilai situasi ini sebagai kondisi darurat yang tak boleh terus diabaikan.

“Sudah saatnya Aceh membangun kebijakan berdasarkan data dan kajian ilmiah, bukan sekadar intuisi,” ujar Muhammad Rizky, juru bicara Fraksi Golkar DPR Aceh, dalam penyampaian pendapat akhir fraksi.

Menurut Rizky, riset yang kuat akan membuat pembangunan lebih terukur, tepat sasaran, dan tahan terhadap dinamika politik.

Gagasan tersebut mendapatkan respons positif dari kalangan akademisi. Rektor Universitas Malikussaleh, Prof. Dr. Ir. Herman Fithra, ST, MT, IPM, ASEAN.Eng, menyebut usulan itu sebagai langkah maju yang patut diapresiasi. Namun, ia mengingatkan agar ide ini tidak berhenti sebagai jargon populis yang tak pernah menyentuh sistem penganggaran secara nyata.

“Investasi di bidang riset adalah investasi jangka panjang yang menentukan masa depan daerah. Kita tidak bisa membangun tanpa data dan riset, itu ibarat menanam di tanah kosong tanpa pupuk,” ujarnya kepada Dialeksis, Senin (4/8/2025).

Prof. Herman menekankan perlunya kebijakan pendukung untuk memperkuat ekosistem riset di Aceh, termasuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia, kolaborasi antarperguruan tinggi, dan sinergi dengan pemerintah daerah.

Poin Penting disampaikan Prof. Herman menegaskan bahwa riset harus dilaksanakan oleh lembaga atau perguruan tinggi yang independen dan profesional. Yang tidak kalah penting, hasilnya harus dapat diimplementasikan, bukan hanya menjadi tumpukan dokumen di rak-rak perpustakaan.

Senada direspon, Rektor Universitas Teuku Umar, Prof. Dr. Drs. Ishak Hasan, M.Si, menyebut kebijakan riset seharusnya menjadi alat navigasi pembangunan, bukan sekadar pelengkap formalitas.

“Kalau Aceh ingin maju, jangan alergi terhadap hasil riset, apalagi jika hasilnya tidak populer,” tegasnya.

Ia menilai saat ini terlalu banyak kebijakan strategis yang diputuskan tanpa dasar akademik. Kampus, kata Ishak, harus dilibatkan sejak tahap perencanaan, bukan hanya sebagai pelaksana program setelah proyek berjalan.

Menurutnya, Aceh membutuhkan lembaga yang dapat berdiri di tengah antara pemerintah dan masyarakat. Kampus memiliki posisi itu. Oleh sebab itu, Ishak mengusulkan pembentukan Consortium Riset Aceh yang dikelola secara independen dan melibatkan seluruh perguruan tinggi serta lembaga litbang di Aceh.

“Dana Otsus tidak boleh lagi jadi alat proyek semata. Ia harus menjadi alat peradaban,” tegasnya.

Sejak 2008 hingga kini, Aceh telah menerima lebih dari Rp 80 triliun Dana Otsus. Namun, capaian pembangunan belum menunjukkan lompatan berarti. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh masih di bawah rata-rata nasional, sementara tingkat pengangguran dan kemiskinan masih tinggi. Banyak yang mempertanyakan efektivitas penggunaan dana tersebut.

Menurut Prof. Herman, salah satu penyebabnya adalah minimnya riset sebagai dasar perencanaan pembangunan. Belanja daerah selama ini cenderung didorong ke sektor fisik yang mudah diserap tapi cepat usang.

“Jika 1 persen Dana Otsus dialokasikan untuk riset, setidaknya Aceh bisa menganggarkan Rp 200 miliar setiap tahun. Itu bisa menghasilkan peta jalan pembangunan baru yang lebih cerdas dan berkelanjutan,” ujarnya.

Namun Prof. Ishak mengingatkan bahwa bahkan alokasi 1 persen pun belum cukup. Jika ingin mengejar ketertinggalan, ia menilai alokasi dana riset perlu ditingkatkan hingga di atas 2 persen dari total dana Otsus.

“Perencanaan tanpa berbasis riset hanya akan menghasilkan kebijakan yang bersifat spekulatif dan tidak objektif. Kita butuh riset yang valid dan jujur,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa hasil riset harus bebas dari manipulasi dan kepentingan sempit. Jika hasil riset memberikan temuan yang ‘pahit’, kata dia, maka untuk membuatnya bisa ‘ditelan’ perlu ada dukungan anggaran lanjutan dengan skala prioritas yang jelas.

“Jika riset dilakukan secara serius, maka pembangunan berbasis data ilmiah adalah keniscayaan bagi daerah atau negara yang ingin maju dan modern,” lanjutnya.

Kedua rektor dari kampus terkemuka di Aceh sepakat, bahwa langkah Fraksi Golkar Aceh perlu diapresiasi. Namun, lebih dari sekadar dukungan moral, publik menunggu realisasi konkret: di mana pos anggarannya? Siapa yang mengelola? Bagaimana sistem akuntabilitasnya? Dan yang paling penting, apakah hasil riset akan benar-benar digunakan dalam proses pengambilan keputusan?

“Aceh memiliki semua yang dibutuhkan: kampus unggul, peneliti cerdas, dan semangat membangun. Yang diperlukan sekarang hanyalah keberanian untuk meninggalkan cara-cara lama dan beralih ke kebijakan berbasis ilmu pengetahuan,” tutup kedua rektor tersebut dengan pandangan yang senada.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI