DIALEKSIS.COM | Aceh - Transparansi Tender Indonesia (TTI) menilai tudingan Panitia Khusus (Pansus) Minerba Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terhadap aparat penegak hukum (APH) yang disebut menerima setoran Rp1 miliar per hari dari pengusaha tambang ilegal sebagai pernyataan tanpa dasar alias omong kosong.
Ketua TTI, Nasruddin Bahar, menyebut tudingan tersebut telah menimbulkan kegaduhan publik dan menjatuhkan citra lembaga penegak hukum, terutama Kepolisian Daerah Aceh. Namun, setelah ditunggu sekian lama, Pansus tak kunjung menghadirkan bukti apa pun untuk menguatkan klaimnya.
“Tudingan Pansus DPRA bahwa aparat penegak hukum mendapat setoran Rp1 miliar per hari ternyata hanya omon-omon. Tidak ada bukti yang bisa ditunjukkan. Ini bukan sekadar isu, tapi fitnah yang mencoreng kehormatan institusi penegak hukum,” tegas Nasruddin melalui keterangan tertulis diterima redaksi Dialeksis, Minggu (13/10/2025).
Menurut TTI, Pansus Minerba telah bertindak tidak etis karena melempar isu sensitif tanpa dasar yang jelas. Pernyataan tersebut, kata Nasruddin, telah menimbulkan persepsi negatif di masyarakat bahwa penegakan hukum di Aceh bisa “dibeli”.
“Setelah Kapolda Aceh meminta agar Pansus melapor dan menyerahkan bukti, hingga kini tidak ada satu pun langkah konkret. Justru, isu ini berubah menjadi bola liar yang membuat publik semakin bingung dan curiga,” ujarnya.
TTI menilai, idealnya Pansus bertanggung jawab atas pernyataan yang telah dilontarkan. Lembaga legislatif seharusnya menjaga etika dan kehormatan institusi negara, bukan justru memperkeruh suasana dengan tudingan tanpa data.
“Kalau memang ada bukti, laporkan secara resmi. Jangan hanya lempar isu lalu diam seribu bahasa. Ini cara kerja yang tidak profesional,” tambah Nasruddin.
Transparansi Tender Indonesia mencatat, ini bukan kali pertama DPRA membuat pernyataan yang berujung pada kegaduhan publik. TTI mengingatkan, sebelumnya Ketua DPRA juga sempat menuding ada oknum polisi yang “bermain proyek” dan meminta Direktur Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Aceh hadir di Gedung DPRA. Namun hingga kini, tudingan tersebut juga tak pernah ditindaklanjuti secara hukum.
“Dua kali DPRA melempar isu besar tanpa penyelesaian. Pertama soal oknum polisi main proyek, kedua soal setoran Rp1 miliar per hari. Dua-duanya berakhir tanpa bukti. Ini blunder politik dan komunikasi yang memalukan,” ungkap Nasruddin.
Ia menilai, publik kini justru mencurigai adanya motif lain di balik isu-isu yang diangkat DPRA tersebut. “Masyarakat mulai curiga, jangan - jangan ini cara DPRA melakukan barter politik agar proyek-proyek pokok pikiran (pokir) mereka tidak disentuh oleh aparat penegak hukum,” katanya.
Nasruddin menambahkan, jika aparat penegak hukum ingin serius menegakkan keadilan, seharusnya banyak proyek pokir anggota DPRA yang dapat ditelusuri karena bermasalah di lapangan. Ia mencontohkan sejumlah kasus penerima bantuan fiktif pada kelompok tani dan perikanan, termasuk program-program di bawah Badan Reintegrasi Aceh (BRA).
“Kalau APH benar-benar mau bersih-bersih, banyak proyek pokir yang bisa diselidiki. Bantuan kelompok tani, kelompok perikanan, sampai program BRA semuanya banyak masalah. Kalau dibuka satu-satu, banyak anggota dewan yang bisa masuk bui,” tegasnya.
TTI menilai, kasus ini menjadi pelajaran penting agar DPRA lebih berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan publik. Tuduhan tanpa bukti tidak hanya merusak citra lembaga lain, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap fungsi pengawasan yang seharusnya dijalankan secara objektif dan bermartabat.
Menutup pernyataannya, Nasruddin Bahar menegaskan bahwa TTI akan terus mendorong transparansi di sektor pertambangan Aceh, baik dari sisi perizinan, pengawasan, maupun pembagian manfaat bagi masyarakat. Ia meminta agar seluruh lembaga negara, termasuk legislatif, turut menjadi teladan dalam keterbukaan dan tanggung jawab publik.
“Kritik terhadap penegak hukum boleh saja, tapi harus berdasarkan data dan fakta. Jangan asal tuding. Kalau semua lembaga bisa bekerja dengan transparan, kita tidak perlu saling menjatuhkan,” pungkasnya.