DIALEKSIS.COM | Aceh - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menilai sejumlah proyek infrastruktur yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tidak memenuhi standar kelayakan teknis, ekonomis, maupun lingkungan. Hal ini terungkap setelah pihaknya melakukan pemantauan lapangan dan rapat evaluasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA) Aceh.
Armiyadi, SP, Wakil Ketua Komisi III DPRA, dalam keterangan resminya kepada Dialeksis.com, Kamis (27/6), menyebut banyak proyek konstruksi seperti jalan, jembatan, gedung, dan bangunan air menunjukkan penurunan kualitas fisik sebelum mencapai umur layak pakai.
"Hasil pantauan kami secara visual menunjukkan bahwa banyak proyek yang tidak sesuai dengan standar kelayakan, baik dari segi fungsi maupun keberlanjutan. Ini mengindikasikan perencanaan yang tidak matang," tegas Armiyadi.
Menurutnya, akar masalahnya terletak pada absennya kajian Studi Kelayakan atau Feasibility Study (FS) yang komprehensif sebelum proyek dilaksanakan. Padahal, FS merupakan tahap krusial untuk menilai kelayakan teknis, dampak lingkungan, analisis risiko, hingga manfaat ekonomi bagi publik.
"Tanpa FS, proyek bisa jadi hanya mengandalkan gambar teknis, spesifikasi, dan Rencana Anggaran Biaya (RAB). Akibatnya, risiko kegagalan dan pemborosan anggaran sangat tinggi," ujarnya.
Armiyadi menjelaskan, FS seharusnya menjadi dasar penerbitan Detailed Engineering Design (DED). Jika FS menyimpulkan proyek tidak layak, maka proyek tersebut wajib dihentikan untuk menghindari kerugian keuangan negara dan ketidakpuasan masyarakat.
"Sayangnya, banyak dinas teknis masih mengabaikan tahap ini. Alhasil, proyek penghijauan, infrastruktur, atau program berdampak besar lain rentan bermasalah di kemudian hari," tambahnya.
Komisi III DPRA juga menemukan adanya potensi tumpang tindih proyek antara pemerintah pusat (APBN), provinsi (APBA), dan kabupaten/kota (APBK). Hal ini, menurut Armiyadi, dapat memicu risiko administratif dan inefisiensi anggaran.
"Kami mendorong BAPEDA dan Tim Teknis Percepatan Akuntabilitas (TAPA) Aceh untuk menyinkronisasi wilayah kerja tiap tingkat pemerintahan mulai 2025. Perencanaan harus terintegrasi, tidak boleh parsial," tegasnya.
Sebagai langkah korektif, Komisi III DPRA merekomendasikan agar seluruh proyek strategis di masa mendatang wajib dilengkapi FS yang mencakup uji laboratorium tanah, analisis dampak lingkungan, serta mitigasi risiko.
"Kami mengingatkan BAPEDA dan Badan Pengelola Keuangan Aceh (BPKA) agar lebih hati-hati dalam menjalankan mandat pembangunan. Infrastruktur Aceh harus dibangun untuk jangka panjang, bukan sekadar seremonial belaka," tegas Armiyadi.
Ia menegaskan, lemahnya perencanaan tidak hanya merugikan keuangan daerah, tetapi juga berpotensi memicu ketidakpercayaan publik.
"Kami tidak ingin proyek-proyek APBA menjadi beban baru hanya karena perencanaan yang asal-asalan. Masyarakat Aceh berhak menikmati pembangunan yang berkelanjutan," pungkasnya.