DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Panitia Khusus (Pansus) Minerba dan Migas Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Anwar Ramli, menegaskan bahwa pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk melaporkan dugaan aliran dana tambang ilegal kepada aparat penegak hukum.
Menurutnya, tugas pembuktian sepenuhnya berada di tangan kepolisian jika ditemukan indikasi keterlibatan oknum aparat sebagaimana yang disebut dalam laporan Pansus.
Ia menegaskan, kini giliran kepolisian dan kejaksaan yang harus menindaklanjuti temuan tersebut secara transparan dan profesional.
“Data kan bisa mereka buktikan dari apa yang kami sampaikan, ada atau tidak, dengan apa yang diungkapkan oleh Pansus. Rekomendasi Pansus itu sudah datang. Faktanya, ya penegak hukum membuktikan sendiri tentang apa-apa di lapangan itu,” ujar Anwar Ramli usai audiensi dengan Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh di Ruang Banggar DPRA, Rabu (29/10/2025).
Menurutnya, Pansus tidak memiliki kewenangan untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran hukum pidana. Tugas itu sepenuhnya menjadi ranah aparat penegak hukum.
“Apakah ada yang ditutupi dari penegakan hukum? Oh itu saya tidak bisa menjawab, karena itu kan mereka punya mekanisme dan protap tentang penegakan hukum, di luar kewenangan kami,” ujarnya.
Ketika ditanya soal kabar adanya aliran dana kepada oknum penegak hukum dari perusahaan tambang, Anwar menegaskan bahwa hal itu masih sebatas dugaan.
“Itu kan informasi dari masyarakat. Benar atau tidak, kan penegak hukum bisa menelusuri. Harapan kami, di mana yang memang melanggar tentunya harus ditindak, dan yang tidak melanggar tentu harus didukung. Itu jelas,” tegasnya.
Anwar juga menolak untuk menilai kinerja aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus pertambangan di Aceh. “Kami bukan lembaga penilaian, ya. Itu ditanya nanti dari lembaga survei,” ujarnya.
Selain soal penegakan hukum, Ketua Pansus Minerba dan Migas itu juga menyoroti belum adanya peta jalan (roadmap) pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan.
Ia menilai Pemerintah Aceh perlu segera menyusun arah kebijakan yang jelas agar aktivitas tambang benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat lokal.
"Itu mungkin kita akan dorong kalau belum ada roadmap-nya tentang kesejahteraan masyarakat melalui tambang itu. Salah satu kebijakan hari ini kan dengan kita membuat pertambangan rakyat, supaya masyarakat di sekitar tambang bisa langsung berpartisipasi dan mendapatkan manfaat,” jelasnya.
Anwar menyebut, pembentukan satuan tugas (satgas) pertambangan rakyat yang kini sedang digodok Pemerintah Aceh merupakan langkah positif untuk memperbaiki tata kelola sektor ini.
"Satgas itu kan untuk mengevaluasi dan melakukan koordinasi terhadap izin-izin pertambangan yang sudah ada dan terhadap pertambangan-pertambangan yang belum berizin,” katanya.
Langkah tersebut, lanjut Anwar, merupakan bagian dari upaya penataan sektor tambang agar lebih tertib dan berkeadilan.
“Ini bagian dari evaluasi terhadap izin yang sudah keluar dan yang belum ada izin. Dengan adanya satgas ini, kita harapkan bisa disempurnakan untuk ke depan tentang pengelolaan pertambangan ini,” ujarnya.
Namun ia menegaskan, waktu dan teknis pembentukan satgas berada di bawah kewenangan Pemerintah Aceh. “Itu ranahnya Pak Gubernur, bukan ranah kami. Kan inggub (Instruksi Gubernur) sudah keluar. Dengan itu nanti akan ada satgas untuk melakukan evaluasi terhadap IUP yang sudah keluar,” jelasnya.
Menurut Anwar, hasil evaluasi satgas nantinya akan menjadi dasar bagi Pemerintah Aceh dalam mengambil keputusan terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan izin tambang.
"Ada beberapa perusahaan yang menjadi rekomendasi DPR. Tapi kan Gubernur tidak bisa langsung menutup perusahaan tanpa dasar yang kuat. Jadi satgas inilah yang nanti akan memastikan, mana yang melanggar, mana yang tidak,” pungkasnya. [nh]