DIALEKSIS.COM | Aceh - Waktu terus berjalan, dan detik-detik berakhirnya dana otonomi khusus (otsus) bagi Aceh makin dekat. Tahun 2027 menjadi garis akhir, saat alokasi dana yang selama ini menopang pembangunan Aceh sejak perdamaian Helsinki akan dihentikan, sesuai amanat Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
"Kalau tidak ada langkah politik yang tegas, kita tinggal menghitung waktu menuju kekosongan fiskal," kata Khairul Amal, Ketua Komisi A DPR Aceh periode 2006 - 2009, dalam perbincangan dengan Dialeksis melalui sambungan selurer, Rabu (23/07/2025).
Khairul adalah salah satu tokoh yang ikut merumuskan landasan hukum kekhususan Aceh pasca konflik saat itu dirinya sebagai sekretaris pansus perumusan Draft RUU Pemerintahan Aceh 2006. Ia menyebut, sejak 2008 Aceh telah menerima alokasi Dana Otsus secara bertahap selama dua dekade. Artinya, pada tahun 2027 masa itu habis. Namun, belum terlihat gerakan politik yang cukup kuat di tingkat nasional untuk memperpanjangnya.
Upaya untuk memperpanjang dana otsus sebenarnya sudah mulai dilakukan. DPR Aceh dan Pemerintah Aceh, menurut Khairul, telah mengajukan draf revisi UU Nomor 11 Tahun 2006 kepada DPR RI dan Pemerintah Pusat. Tujuannya, menyisipkan klausul perpanjangan Dana Otsus dalam skema legislasi nasional.
Namun, seperti diketahui, mekanisme revisi undang-undang melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tak pernah cepat. “Semua berharap bisa dibahas pada 2025. Tapi itu harapan, bukan kepastian,” ujar Khairul.
Sementara waktu terus berdetak. Di tengah kekhawatiran akan vakum kebijakan fiskal pasca 2027, muncul satu wacana yang mulai ramai diperbincangkan: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, atau Perpu.
Perpu merupakan produk hukum yang dapat dikeluarkan oleh Presiden ketika negara menghadapi kegentingan yang memaksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Khairul menjelaskan, Perpu langsung memiliki kekuatan hukum setara undang-undang sejak ditetapkan, meskipun belum disetujui DPR.
“Kalau Presiden menilai secara subjektif bahwa perpanjangan dana otsus adalah kebutuhan genting demi merawat perdamaian dan menjaga keutuhan NKRI, maka Perpu bisa diterbitkan,” ujar Khairul.
Ia lanjut menjelaskan, bahwa presiden punya wewenang eksklusif untuk menilai kegentingan itu. Dan bila Perpu dikeluarkan, DPR RI harus membahasnya dalam masa sidang berikutnya untuk kemudian disetujui atau ditolak. Meski ditolak, selama belum dibahas, Perpu sudah berlaku penuh.
Menurut Khairul Amal, ada setidaknya empat alasan kenapa Presiden Prabowo Subianto punya ruang politik yang cukup untuk menerbitkan Perpu Dana Otsus Aceh.
Pertimbangan logisnya menurut Khairul Amal, karena Muzakir Manaf memiliki kedekatan emosional yang kuat dengan presiden Prabowo sehingga jadi Modal ini dapat digunakan untuk membangun jalur komunikasi strategis.
Pertimbangan lainnya, kata Khairul karena Aceh memiliki nilai strategis secara sejarah dan kekhususan tersendiri dibandingkan dengan provinsi lainnya.
“Dalam peta politik dan sejarah Indonesia, Aceh memiliki kedudukan emosional dan strategis di mata Presiden. “Aceh bukan daerah biasa,” ujar Khairul.
Tak sampai disitu saja, ia lanjut menjelaskan, komposisi DPR RI saat ini mayoritas berasal dari koalisi pendukung pemerintahan. Artinya, Perpu yang diajukan Presiden berpotensi besar mendapat legitimasi politik.
“Perpu bisa langsung berlaku setelah diterbitkan, tanpa menunggu proses legislasi yang kerap berbelit. Dalam konteks Dana Otsus yang punya batas waktu, kecepatan adalah segalanya,” tegasnya.
Bagi Khairul, menyusun naskah akademik atau draft revisi UU saja tidak cukup. Ia mendorong agar Pemerintah Aceh dan DPR Aceh segera melibatkan tokoh - tokoh kunci dari berbagai kalangan: ulama, akademisi, tokoh nasional, dan elite lokal untuk bertemu langsung dengan Presiden.
“Kita harus bawa narasi dan argumen yang kuat kepada Presiden. Bahwa ini bukan soal minta uang, tapi soal menjaga keberlanjutan pembangunan, keadilan, dan kesinambungan perdamaian di Aceh,” jelasnya.
Sejak konflik bersenjata berakhir, Dana Otsus menjadi fondasi utama pembangunan Aceh. Ia bukan sekadar bantuan fiskal, tapi wujud dari rekonsiliasi negara terhadap luka sejarah. Maka, jika alokasi ini berakhir tanpa pengganti, bukan hanya pembangunan yang stagnan, tapi kepercayaan publik pun bisa terkikis.
“Perpu bukan pelanggaran hukum, justru jalan konstitusional. Presiden punya kewenangan dan hak penuh, tinggal mau atau tidak,” tegas Khairul.
Aceh telah menempuh perjalanan panjang dari konflik ke damai. Dana Otsus adalah bagian dari kontrak sosial itu. Maka, kata Khairul Amal, memperpanjangnya bukan semata agenda fiskal, tapi menjaga semangat rekonsiliasi yang sudah dirajut selama hampir dua dekade.
“Jika pemerintah pusat serius menjaga perdamaian, serius membangun keadilan, maka tidak ada alasan untuk membiarkan Dana Otsus tamat begitu saja,” pungkasnya mantan Sekretaris Pansus Advokasi RUU Pemerintahan Aceh 2006.