DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dua puluh tahun sudah sejak peluru terakhir berhenti ditembakkan di Tanah Rencong. Kedamaian yang dulu terasa mustahil kini menjadi kenyataan sehari-hari. Namun, di balik stabilitas yang terjaga, pertanyaan besar masih menggantung: benarkah dana otonomi khusus (Otsus) telah menyembuhkan luka lama Aceh?
Danil Akbar Taqwadin, Ph.D., akademisi ilmu politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan UIN Ar-Raniry sekaligus Sekretaris DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Provinsi Aceh, menilai Dana Otsus memiliki dua wajah.
"Wajah pertama adalah penyelamat, wajah kedua adalah kekecewaan,” ujarnya saat berbincang dengan media dialeksis.com, Minggu, 5 Oktober 2025.
Menurut Danil, di awal-awal pascaperdamaian, Dana Otsus berperan vital sebagai penenang dan jaminan bahwa Jakarta sungguh-sungguh serius menjaga kesepakatan Helsinki.
“Dana itu menjadi obat yang berhasil mengubah medan perang menjadi arena politik praktis. Eks-kombatan yang dulu berebut pengaruh di hutan kini berebut kekuasaan lewat pilkada,” katanya.
Namun, ia mengingatkan, di balik keberhasilan menghentikan konflik bersenjata, Dana Otsus gagal mewujudkan perdamaian positif yakni kondisi ketika keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi dirasakan merata.
"Selama dua dekade, kita memang berhenti berperang, tapi rakyat masih berjuang mengisi perut dan menggapai pendidikan yang layak,” ujarnya.
Danil menilai, pada masa awal perdamaian, Dana Otsus berperan besar dalam menjaga stabilitas politik dan sosial Aceh.
“Saat itu Aceh baru keluar dari konflik bersenjata dan baru saja dilanda tsunami. Dana Otsus menjadi semacam penenang dosis tinggi bagi daerah yang baru berdamai,” ujarnya.
Ia menjelaskan, kucuran dana besar dari pemerintah pusat menjadi simbol keseriusan Jakarta dalam mengakhiri kekerasan dan memastikan tidak ada lagi perlawanan bersenjata.
“Dana ini mengubah medan perang menjadi arena politik. Para elit dan eks-kombatan yang dulu berebut pengaruh di hutan dan kampung, kini berebut kursi di Pilkada dan Pileg,” ujarnya.
Dengan cara itu, menurutnya, Dana Otsus berhasil menjaga agar konflik bersenjata tidak terulang. “Kalau bicara menghentikan peluru, ya, Dana Otsus berhasil membeli perdamaian itu,” katanya.
Namun, Danil menilai bahwa perdamaian sejati bukan sekadar ketiadaan konflik. Ia menyebut, perdamaian yang hakiki adalah saat kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi.
“Perdamaian yang sejati terjadi ketika rakyat bisa makan dengan layak, anak-anak bersekolah, orang sakit berobat tanpa cemas, dan keadilan dirasakan semua orang,” ujarnya.
Dalam konteks inilah, ia menilai penggunaan Dana Otsus masih jauh dari harapan. “Kalau merujuk pada Pasal 183 Undang-Undang Pemerintahan Aceh, dana ini seharusnya untuk membangun infrastruktur, memberdayakan ekonomi rakyat, mengentaskan kemiskinan, pendidikan, sosial, dan kesehatan. Tapi dalam praktiknya, dana itu banyak tersedot ke proyek yang tidak langsung menyentuh rakyat,” kata Danil.
Ia mengibaratkan aliran dana itu seperti air sungai yang dibelokkan sebelum sampai ke sawah-sawah rakyat.
“Uang itu berhenti di tangan elit dan birokrat. Ia menjadi alat untuk memelihara kekuasaan, bukan alat untuk membangun kesejahteraan,” ujarnya.
Menurutnya, perdamaian di Aceh kini bertahan bukan karena rakyatnya sejahtera, tetapi karena elit politik sama-sama berkepentingan untuk menjaga agar Dana Otsus terus mengalir.
“Ini damai yang rapuh, damai yang disandera oleh uang,” ujarnya.
Danil menyebut bahwa dalam jangka panjang, Dana Otsus justru berpotensi menimbulkan ketimpangan baru.
“Pada konteks ekstrem, Dana Otsus bukan hanya gagal menyembuhkan luka lama, tapi malah menaburkan garam di atasnya,” ujarnya.
Ia menyebut, sejak 2008 lebih dari Rp 100 triliun telah digelontorkan untuk Aceh, tetapi kemiskinan belum berkurang signifikan.
“Bagaimana mungkin daerah yang dimandikan uang justru tetap miskin?” katanya.
Ia mengutip penelitian dari Universitas Syiah Kuala yang menemukan bahwa semakin besar ketergantungan fiskal terhadap dana transfer seperti Otsus, justru semakin rendah pertumbuhan ekonomi di Aceh.
“Artinya, uang ini tidak digunakan secara produktif. Lebih banyak untuk belanja yang tidak efisien dan proyek-proyek mercusuar yang tidak menciptakan lapangan kerja,” kata Danil.
Danil juga menyinggung lemahnya pengawasan terhadap pengelolaan Dana Otsus. Ia mengingatkan hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2018 yang menyebut Dana Otsus termasuk dalam kategori rawan penyimpangan.
“Ada dugaan commitment fee sekitar delapan persen dari setiap proyek yang dibiayai Dana Otsus, itu artinya, sejak awal dana ini sudah terpotong sebelum dirasakan manfaatnya," ungkapnya.
Ia menilai, porsi anggaran untuk pemberdayaan ekonomi rakyat juga terlalu kecil. “Sebagian besar dana digunakan untuk infrastruktur, padahal yang paling dibutuhkan adalah sektor ekonomi rakyat. Pemberdayaan masyarakat hanya mendapat sekitar sepuluh persen,” katanya.
Dampak dari ketimpangan ini, menurut Danil, mulai terlihat di lapangan. Ketimpangan sosial yang dulu bersifat vertikal”antara Aceh dan Jakarta kini berubah menjadi horizontal di antara sesama orang Aceh.
“Sekarang rasa ketidakadilan itu muncul di antara kita sendiri. Ada segelintir elit yang hidup mewah dari rente proyek Otsus, sementara masyarakat tetap miskin," ujarnya.
Ia juga mengkritik sentralisasi dana di tingkat provinsi yang menyebabkan pembangunan tidak merata. “Sebagian besar dana dikelola di provinsi, membuat kabupaten-kota hanya menjadi pelaksana. Ini menciptakan kecemburuan antarwilayah,” kata Danil.
Menurutnya, situasi ini berpotensi menimbulkan konflik sosial baru. "Kalau dulu ketimpangannya antara Aceh dan Jakarta, sekarang antara sesama orang Aceh sendiri. Para elit dan birokrat menjadi semacam uleebalang baru, sementara rakyat tetap berjuang bertahan hidup,” ujarnya.
Danil menilai, yang dibutuhkan Aceh hari ini bukan sekadar memperpanjang masa Dana Otsus, tetapi memperbaiki cara pandang terhadap penggunaannya.
“Dana Otsus seharusnya menjadi alat rekonsiliasi sosial dan ekonomi, bukan alat transaksi politik,” katanya.
Ia menegaskan bahwa tanpa perubahan paradigma, perdamaian Aceh akan tetap rapuh. “Kalau Dana Otsus terus dikelola seperti sekarang, kita hanya menunda masalah. Kalau perdamaian dibangun di atas keadilan, ia akan abadi. Tapi kalau berdiri di atas ketimpangan, ia hanya menunggu waktu untuk runtuh,” pungkasnya.