Selasa, 29 April 2025
Beranda / Pemerintahan / Deforestasi Aceh Capai Tingkat Kritis, WALHI Desak Pemerintah Serius Tangani Kerusakan Lingkungan

Deforestasi Aceh Capai Tingkat Kritis, WALHI Desak Pemerintah Serius Tangani Kerusakan Lingkungan

Senin, 28 April 2025 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Ilustrasi deforestasi hutan Aceh. Foto: istockphoto.com


DIALEKSIS.COM | Aceh - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menyerukan Pemerintah Aceh untuk meningkatkan komitmen dalam mengatasi krisis lingkungan yang kian memburuk. Permasalahan ini kian mendesak menyusul data terbaru yang menunjukkan hilangnya tutupan hutan di provinsi tersebut meningkat hampir 20% dalam setahun terakhir.

Afifuddin Acal, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh, dalam wawancara bersama RRI Banda Aceh (23/4), menegaskan bahwa masyarakat menjadi pihak pertama yang menanggung dampak kerusakan lingkungan.

Ia mencontohkan pengalaman pribadinya saat rumahnya di Banda Aceh terendam banjir dua kali pada 2024, membutuhkan waktu tiga hari untuk pembersihan. "Masyarakatlah yang langsung berhadapan dengan bencana. Saya sendiri merasakannya," ujarnya.

Menurut Afifuddin, meski kesadaran masyarakat penting, upaya tersebut tak memadai tanpa kebijakan pemerintah yang pro-lingkungan. "Banyak kebijakan justru mengabaikan pencegahan bencana," kritiknya.

Data WALHI menyebutkan, kehilangan tutupan hutan Aceh mencapai 19,49%, sementara luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) melonjak dari 1.900 hektare (2023) menjadi 7.200 hektare (2024) berdasarkan pantauan Sipongi. "Ini fakta nyata. Peningkatan ini signifikan dan harus ditangani serius," tegasnya.

Afifuddin juga menyoroti alokasi dana otonomi khusus (otsus) yang dinilai lebih mengutamakan kepentingan politik ketimbang lingkungan. "Pemerintah jangan hanya bicara dana otsus. Lingkungan harus diurus. Bagaimana dana itu dipakai untuk pemulihan?" tanyanya.

Temuan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) memperkuat keprihatinan ini. Pemantauan citra satelit menunjukkan, Aceh kehilangan 10.610 hektare tutupan hutan sepanjang 2024 naik 19% dari 2023. Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) menjadi area paling terdampak. Saat ini, tutupan hutan Aceh tersisa 2.936.525 hektare.

Menanggapi temuan data tersebut, TM Zulfikar, Dosen Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah dan aktivis lingkungan, menilai kegagalan pemerintah Aceh terletak pada implementasi kebijakan.

"Peningkatan deforestasi dan karhutla membuktikan sistem pengawasan dan penegakan hukum gagal. Regulasi hanya di atas kertas," ungkapnya kepada Dialeksis saat dihubungi, Senin (28/04/2025).

Zulfikar menyayangkan fokus pemerintah yang lebih tertuju pada pembangunan infrastruktur dan agenda politik jangka pendek, sementara perlindungan ekosistem seperti KEL terabaikan. Ia mendesak alokasi dana otsus untuk teknologi pemantauan real-time berbasis satelit, pelatihan restorasi hutan bagi masyarakat, serta penindakan tegas terhadap perambahan dan illegal logging.

"Perlu rehabilitasi lahan terpadu, sistem peringatan dini karhutla, dan integrasi Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam setiap kebijakan. Jika tidak, bencana ekologi dan ekonomi akan terus berulang," paparnya.

Zulfikar juga mengkritik lemahnya koordinasi antarinstansi. "Dinas Lingkungan Hidup, BPBD, dan pemerintah kabupaten harus bersinergi dalam peta jalan penyelamatan lingkungan. Ini darurat, bukan isu musiman," tambahnya.

Ia mendesak pembentukan tim khusus yang melibatkan akademisi, aktivis, dan komunitas lokal untuk mengawal transisi menuju pembangunan berkelanjutan.

"Kita punya data dan ilmu. Saatnya bertindak sebelum kerusakan tak bisa dipulihkan," pungkasnya.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
diskes