DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Arkeolog Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah I Kementerian Kebudayaan RI, Ambo Asse Ajis, menegaskan bangunan eks pengadilan kolonial yang berdiri di kompleks Pengadilan Negeri Banda Aceh layak segera ditetapkan sebagai cagar budaya. Hal itu ia sampaikan dalam wawancara langsung dengan Dialeksis, Sabtu (20/9/2025).
“Bangunan eks pengadilan kolonial di kompleks Pengadilan Negeri Banda Aceh ini memiliki nilai sejarah yang tinggi. Ia menyimpan jejak peradilan Belanda di Aceh pada awal abad ke-20 dan menjadi artefak penting untuk memahami bagaimana sistem hukum kolonial beroperasi di daerah ini,” kata Ambo Asse Ajis.
Menurutnya, meski gedung Pengadilan Negeri Banda Aceh sudah dibangun baru, keberadaan bangunan lama tetap terjaga. Bangunan yang dibangun sekitar awal 1900-an itu berdiri sejajar dengan Gedung Bank Indonesia Perwakilan Banda Aceh dan sejumlah fasilitas kolonial lain.
“Di kawasan ini juga terdapat bangunan peninggalan Belanda seperti kompleks Kantor Polresta Banda Aceh dan Gedung Bank Indonesia. Dulu, Penjara Keudah juga menjadi bagian integral sistem peradilan kolonial, namun hancur saat bencana gempa dan tsunami 2004,” jelasnya.
Ambo menambahkan, berdasarkan literasi sejarah, gedung pengadilan tersebut pernah menjadi tempat berlangsungnya persidangan dengan sistem hukum kolonial Belanda. “Persidangan yang berlangsung di sini menunjukkan bagaimana kolonial Belanda mengatur sistem peradilan di Aceh, dengan segala implikasinya terhadap masyarakat lokal. Ini bukan sekadar bangunan tua, tapi ruang yang sarat makna,” ujarnya.
Ia menilai, penetapan bangunan ini sebagai cagar budaya merupakan langkah penting agar keberadaannya terlindungi secara hukum. Status tersebut tidak hanya memberi legitimasi pelestarian, tetapi juga membuka ruang untuk menjadikannya sebagai media edukasi publik.
“Cagar budaya bukan hanya soal benda mati, tapi juga warisan pengetahuan. Gedung ini bisa menjadi media pembelajaran sejarah bagi generasi muda tentang sistem hukum kolonial di Aceh. Dengan status cagar budaya, perawatan dan pemanfaatannya akan lebih terjamin,” kata Ambo.
Dalam wawancara dengan Dialeksis itu, Ambo juga mengajak Pemerintah Kota Banda Aceh dan masyarakat untuk bersama-sama menjaga bangunan bersejarah tersebut. Menurutnya, pelestarian tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah, tetapi juga memerlukan keterlibatan publik.
“Kami terus mendorong Pemerintah Kota Banda Aceh segera memproses penetapan ini. Kalau sudah jadi cagar budaya, maka gedung ini bisa terawat dengan baik. Keberadaannya adalah jejak sejarah yang harus dijaga bersama. Jangan sampai bangunan ini rusak atau hilang sebelum resmi dilindungi,” pungkasnya.