DIALEKSIS.COM | Jakarta - Presiden Prabowo Subianto secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, dalam upacara peringatan Hari Pahlawan 2025 di Istana Negara, Senin pagi. Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 116/TK/2025, menjadikan Soeharto salah satu dari sepuluh tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional tahun ini.
Putri sulung Soeharto, Siti “Tutut” Hardijanti Rukmana, hadir menerima langsung piagam penghargaan tersebut mewakili keluarga. Penganugerahan ini sekaligus menandai pengakuan resmi negara atas jasa-jasa Soeharto selama masa perjuangan dan kepemimpinannya.
Keputusan pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto mendapat sambutan positif dari sejumlah pihak. Partai Golkar, yang identik dengan masa kepemimpinan Orde Baru, menyebut keputusan itu sebagai bentuk penghormatan negara terhadap kontribusi Soeharto dalam membangun fondasi pembangunan nasional.
Sekretaris Jenderal Golkar Muhammad Sarmuji menyatakan, penghargaan itu layak diberikan atas pengabdian Soeharto “sejak masa perjuangan kemerdekaan hingga memimpin pembangunan bangsa selama lebih dari tiga dekade”.
Dukungan juga datang dari Muhammadiyah. Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad menilai Soeharto berjasa besar, mulai dari kiprahnya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, program Repelita, hingga keberhasilan swasembada beras pada 1980-an. Menurutnya, kontribusi tersebut patut dihargai tanpa mengabaikan perbedaan pandangan politik.
“Ketika kita menghargai jasa seseorang, jangan hanya dilihat dari kekurangannya,” kata Dadang.
Keluarga Soeharto menyambut penganugerahan ini dengan syukur. Tutut Soeharto menyebut keputusan Presiden Prabowo sebagai bentuk penghargaan objektif terhadap rekam jejak ayahnya.
“Pak Prabowo tahu apa yang telah dilakukan Bapak,” ujarnya.
Ia menilai pro dan kontra di masyarakat adalah hal wajar, seraya mengajak publik melihat kiprah Soeharto secara proporsional.
Namun, keputusan ini tak lepas dari polemik. Sejumlah aktivis hak asasi manusia, akademisi, dan korban pelanggaran HAM masa Orde Baru menilai pemberian gelar tersebut melukai rasa keadilan. Lebih dari 500 akademisi dan aktivis menandatangani petisi menolak langkah itu.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto sebagai bentuk pengabaian terhadap sejarah pelanggaran HAM yang belum diselesaikan. Kritik juga menyoroti empat hal utama meliputi pelanggaran HAM berat seperti Tragedi 1965, Talangsari 1989, penghilangan paksa 1997 - 1998; praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); pembungkaman kebebasan sipil; serta ketimpangan sosial-ekonomi yang masih terasa hingga kini.
Sejarawan Asvi Warman Adam dan rohaniwan Franz Magnis Suseno menyebut langkah pemerintah ini berisiko “memutihkan sejarah”. Mereka menilai pengangkatan Soeharto sejajar dengan tokoh-tokoh seperti Gus Dur atau Marsinah tanpa mempertimbangkan pelanggaran masa lalunya “adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi”.
Meski kritik menguat, pemerintah tetap melanjutkan upacara penganugerahan di Istana Negara tanpa perubahan. Bagi sebagian kalangan, keputusan ini dipandang sebagai upaya rekonsiliasi sejarah.
Tutut Soeharto menilai masyarakat kini lebih dewasa dalam menilai kiprah ayahnya. “Kami tidak perlu membela diri. Rakyat bisa menilai sendiri apa yang telah Bapak lakukan,” ujarnya.
Dengan penganugerahan ini, Soeharto resmi tercatat sebagai Pahlawan Nasional ke-2 dari kalangan presiden setelah Soekarno dan Hatta. Pemerintah berharap penghargaan tersebut menjadi momentum untuk meneguhkan persatuan nasional, sementara perdebatan seputar warisan politik Orde Baru kembali membuka ruang refleksi bagi bangsa.