Jum`at, 22 Agustus 2025
Beranda / Pemerintahan / Implementasi Dana Otsus Aceh: Mengapa Masih Menyisakan SILPA?

Implementasi Dana Otsus Aceh: Mengapa Masih Menyisakan SILPA?

Jum`at, 22 Agustus 2025 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Dr. Syukriy Abdullah, S.E., M.Si. Ahli anggaran dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala


DIALEKSIS.COM | Aceh - Sejak tahun 2008, Aceh menikmati kucuran dana otonomi khusus (Otsus) dari pemerintah pusat sebagai kompensasi pascakonflik dan bagian dari implementasi perjanjian damai Helsinki. Namun, dua dekade lebih berjalan, masalah klasik terus berulang: serapan anggaran yang rendah dan munculnya sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA).

Ahli anggaran dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala, Dr. Syukriy Abdullah, S.E., M.Si., mengungkapkan bahwa persoalan ini tidak bisa dilihat secara hitam putih. Menurutnya, ada dua hal utama yang harus dicermati: mekanisme transfer dari pusat dan kemampuan pemerintah Aceh dalam menyerap anggaran.

“Seringkali terjadi keterlambatan transfer dari pemerintah pusat ke kas daerah, terutama di awal tahun anggaran. Keterlambatan ini tentu berdampak pada eksekusi program di lapangan,” ujar Syukriy saat berbincang dengan Dialeksis, Jumat (22/8/2025).

Namun, ia menegaskan bahwa tidak semua persoalan bisa digantungkan pada pusat. Pemerintah Aceh sendiri, kata dia, juga kerap menghadapi kendala dalam merencanakan dan mengeksekusi program.

“SILPA juga terjadi karena lemahnya perencanaan dan keterbatasan kapasitas birokrasi kita dalam merealisasikan anggaran sesuai jadwal. Ada program yang sudah dirancang, tapi proses tender, administrasi, hingga pengawasan berjalan lamban. Akhirnya anggaran yang sudah tersedia tidak habis dipakai,” jelasnya.

Sejak pertama kali dikucurkan, dana Otsus Aceh diharapkan menjadi motor pembangunan yang mampu mengangkat ekonomi, menurunkan kemiskinan, dan mempercepat perbaikan infrastruktur. Tetapi menurut Syukriy, fakta di lapangan menunjukkan banyak target belum tercapai secara optimal.

Ia mencontohkan, meski angka kemiskinan Aceh turun, tetapi masih berada di atas rata-rata nasional. Begitu juga dengan indikator pengangguran terbuka dan kualitas infrastruktur.

“Pemerintah Aceh semestinya menjadikan dana Otsus sebagai instrumen untuk menciptakan nilai tambah jangka panjang, bukan sekadar habis dalam belanja rutin atau proyek jangka pendek. Di sinilah letak kelemahan tata kelola kita,” katanya.

Lantas bagaimana jalan keluar dari masalah klasik dalam manajemen SILPA ini? Syukriy menawarkan beberapa langkah perbaikan. Pertama, memperkuat perencanaan pembangunan yang realistis dan berbasis data. Hal ini berkaitan dengan kondisi dan fakta di lapangan. OPD atau SKPA paling tahu persoalan ini.

Kedua, mempercepat proses administrasi, khususnya tender dan pengadaan barang dan jasa. Intervensi dari politisi, khususnya untuk POKIR harus dikurangi, sehingga proses lelang dilaksanakan sesuai dengan prioritas pembangunan dan kemampuan keuangan berjalan. Kepala SKPA harus mengikuti regulasi yang berlaku secara professional dan tidak mengikuti tekanan dari politisi dan kelompok kepentingan lain yang tidak memiliki kewenangan langsung dengan pengelolaan anggaran.

Ketiga, membangun sistem evaluasi kinerja yang ketat agar setiap rupiah dari dana Otsus berdampak pada masyarakat. Dokumen perencanaan, yakni RPJMA dan RKPA, harus menjadi pedoman dalam merealisasikan anggaran belanja yang bersumber dari dana Otsus, sehingga pengukuran kinerja untuk pengelolaan dana Otsus memiliki patokan.

“Jika tidak ada perbaikan sistem, maka setiap tahun kita hanya akan mengulang masalah yang sama, yakni dana Otsus besar, tapi serapannya rendah. Padahal waktu pemberian dana Otsus oleh pemerintah pusat terbatas. Artinya, tidak selamanya Aceh akan menerima dana Otsus ini,” tegasnya.

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dana otsus diberikan dalam jangka waktu sampai tahun 2027 dengan porsi menurun sejak 2023. Artinya, Aceh harus menyiapkan strategi pasca-otsus agar tidak terjebak dalam ketergantungan yang dapat bermuara pada “kebangkrutan” pemerintah daerah di Aceh karena tidak mampu lagi menjalankan operasionalnya.

“Pertanyaan pentingnya bukan hanya kenapa SILPA terjadi, tapi juga apakah kita sudah menyiapkan Aceh untuk hidup tanpa dana Otsus. Kalau tata kelola anggaran masih bermasalah, maka Aceh akan menghadapi tantangan yang lebih berat di masa depan,” tutup Syukriy ahli anggaran nasional. 

Keyword:


Editor :
Redaksi

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
sekwan - polia
bpka