DIALEKSIS.COM | Lhokseumawe - Dugaan aktivitas ilegal PT Ika Bina Agro Wisesa (IBAS) di kawasan hutan lindung Aceh Utara memunculkan keprihatinan publik.
Perusahaan sawit yang disebut-sebut membangun pabrik kelapa sawit (PKS) berkapasitas 60 ton/jam di Gampong Guha Uleue, Kecamatan Kuta Makmur, disorot karena tidak memiliki izin usaha perkebunan (IUP-B) yang sah.
Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menilai aktivitas tersebut bukan sekadar persoalan administratif, tetapi berpotensi menimbulkan pelanggaran hukum dan ancaman ekologis serius.
“PT IBAS sudah jelas tidak memiliki izin perkebunan, tapi tetap beroperasi. Lebih parah lagi, perusahaan diduga merambah kawasan hutan lindung. Ini menyalahi aturan hukum, menabrak etika sosial, dan berpotensi merugikan negara,” tegas Koordinator MaTA, Alfian, dalam sebuah forum diseminasi hasil riset di Lhokseumawe, Selasa (30/9/2025).
MaTA bahkan mengeluarkan lima rekomendasi strategis, mulai dari penghentian perambahan hutan lindung, penyelesaian sengketa lahan dengan masyarakat, hingga penindakan hukum oleh Satgas Pengaman Hutan (PKH) Kejaksaan Agung.
Menanggapi polemik ini, Kepala Dinas Perkebunan, Peternakan, dan Kesehatan Hewan Aceh Utara, Lilis Indriansyah, menegaskan bahwa pihaknya belum pernah mengeluarkan izin perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan lindung.
“Sejauh ini kami tidak mengetahui secara pasti adanya izin sawit di kawasan hutan lindung, karena memang tidak pernah ada izin yang kami keluarkan. Kalau pun ada aktivitas di lapangan, kemungkinan besar lahan itu bukan dari izin resmi, melainkan hasil jual beli lahan masyarakat dengan pihak perusahaan,” kata Lilis saat dimintai tanggapan dalam Diseminasi tersebut.
Menurut Lilis, keterbatasan lahan adalah tantangan nyata di tengah meningkatnya kebutuhan manusia. Karena itu, pengelolaan perkebunan harus dilakukan dengan prinsip keberlanjutan.
“Teori lahan sudah jelas, lahan itu statis, tidak akan bertambah, sementara manusia terus bertambah. Maka solusinya adalah memastikan setiap perkebunan mematuhi prinsip berkelanjutan: memerhatikan kelestarian lingkungan, aspek sosial, dan ekonomi,” ujarnya.
Lilis juga menekankan bahwa pemerintah daerah mendukung penuh penerapan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 44 Tahun 2020.
“ISPO itu wajib, bukan hanya untuk perusahaan besar, tapi juga untuk perkebunan rakyat. Dengan ISPO, ada jaminan bahwa pengelolaan sawit kita tetap memperhatikan kelestarian lingkungan, kesejahteraan petani, dan tata kelola yang baik,” jelasnya.
Ia menambahkan, Pemkab Aceh Utara telah membentuk Tim Membina Persoalan Perkebunan (TB3D) yang diketuai Sekda Aceh Utara, melibatkan berbagai dinas, mitra kerja, hingga kelompok pemerhati lingkungan. Tim ini bertugas mengawasi praktik perkebunan, termasuk memastikan tidak ada pelanggaran di lapangan.
“Kami punya 850 gampong yang sebagian besar masyarakatnya bergantung pada perkebunan. Tugas kami adalah memastikan semua berjalan sesuai aturan dan tetap menjaga kelestarian hutan,” kata Lilis.
Meski demikian, Lilis tidak menutup mata bahwa masih ada celah pengawasan. Apalagi jika perusahaan beroperasi tanpa izin resmi.
“Kalau ada kasus seperti yang dituduhkan pada PT IBAS, itu harus diselesaikan secara lintas sektor. Karena izin perusahaan, apalagi yang berkaitan dengan hutan, bukan kewenangan tunggal dinas kami. Ada ranah kehutanan, lingkungan hidup, hingga aparat penegak hukum yang harus turun tangan,” jelasnya.
Menurutnya, dugaan perambahan hutan harus ditindaklanjuti agar tidak menimbulkan kerusakan ekologis dan konflik sosial di masyarakat.
“Kerusakan hutan berarti bencana banjir dan longsor semakin mengancam. Jadi kalau memang terbukti ada perusahaan yang menabrak aturan, harus ada tindakan tegas,” tegas Lilis.
Persoalan PT IBAS disebut menjadi cermin lemahnya pengawasan industri sawit di Aceh. Lilis berharap kasus ini bisa menjadi momentum memperbaiki tata kelola perkebunan, khususnya dalam menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi masyarakat dengan kelestarian lingkungan.
“Industri sawit memang penting bagi ekonomi, tapi harus dijalankan dengan adil dan berkelanjutan. Jangan sampai masyarakat yang dirugikan, dan hutan kita dikorbankan. Mari bersama kita menjaga cita-cita pembangunan berkelanjutan di Aceh Utara,” pungkasnya. [nh]