Sabtu, 25 Oktober 2025
Beranda / Pemerintahan / Kebijakan Pajak Impor dan Beban Konsumen: Bisakah Direvisi?

Kebijakan Pajak Impor dan Beban Konsumen: Bisakah Direvisi?

Sabtu, 25 Oktober 2025 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

DIALEKSIS.COM | Aceh - Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala, Dr. Syukriy Abdullah, , S.E, M.Si menilai kebijakan pajak impor, terutama bea masuk terhadap produk luar negeri perlu dievaluasi. Kebijakan bea masuk sejatinya betujuan untuk melindungi produk lokal dan mengendalikan masuknya barang dari luar negeri. Artinya, produk lokal harus berkembang dan dibeli konsumen dengan harga terjangkau, lebih murah dari produk asing yang memiliki fungsi sama.

Di sisi lain, kebijakan bea masuk yang tinggi akan membebani produk impor, khususnya pada sektor barang konsumsi yang diminati oleh konsumen (misalnya karena kualitas yang lebih baik dan merek yang lebih disukai), sehingga berimplikasi pada bisnis UMKM dan konsumen yang membayar lebih mahal.

Bea cukai saat ini perlu memberikan penjelasan yang jelas mengenai latar belakang kebijakan bea masuk barang impor yang dipandang menjadi saingan produk lokal dan UMKM,” kata Dr. Syukry kepada Dialeksis.com, Sabtu (25/10/2025).

Ia mencontohkan, untuk produk sepatu impor dengan harga Rp1.700.000, masyarakat harus menanggung tambahan beban pajak hingga Rp850.000. Total harga yang dibayar konsumen mencapai lebih dari Rp2,5 juta atau naik sekitar 70 persen dari harga awal. Kondisi ini tentunya akan menekan daya beli masyarakat yang terlanjur membutuhkan atau menyukai produk tertentu, sehingga kemungkinan beralih ke produk lain yang serupa. Pemerintah menginginkan produk lokal menjadi alternatif bagi konsumen sehingga peralihan konsumsi.

“Kalau beban pajak sebesar itu diterapkan secara merata, tanpa melihat jenis dan fungsi produknya, maka konsumen akan semakin terbebani. Meskipun pemerintah ingin melindungi produsen lokal, maka seharusnya kebijakan dan pembinaan produk lokal diperbaiki dengan orientasi pemenuhan kebutuhan lokal dengan kualitas ekspor,” jelasnya.

Menurut Syukriy ahli akuntansi nasional ini, meskipun tujuan pemerintah adalah menaikkan penerimaan negara dari pajak, khususnya bea masuk, semestinya pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki sistem klasifikasi dan batasan yang lebih proporsional dalam menetapkan tarif. Secara psikologis, konsumen yang membeli produk lebih mahal cenderung merasa lebih bernilai, meski pun sebenarnya kemahalan tersebut karena pajaknya terlalu beaar. Ini hal bagus, di mana konsumen "bangga" karena bisa "menyumbang" ke negara. 

Produk lokal "dilindungi dengan membuat produknya memiliki kualitas yang sama. Misalnya, dengan memberikan keringanan bagi produk UMKM yang melakukan ekspor ke luar negeri serta memastikan produk dalam negeri mendapatkan perlindungan yang adil tanpa menciptakan beban berlebih bagi konsumen.

“Masalahnya bukan hanya pada tingginya pajak, tetapi juga pada absennya kejelasan mekanisme penetapan. Bea cukai perlu memiliki pendekatan berbasis kategori produk, volume impor, dan dampak ekonominya terhadap sektor UMKM nasional maupun produk dari luar negeri,” tambahnya.

Selain aspek regulasi, Syukriy juga menyoroti lemahnya edukasi pajak di kalangan masyarakat. Ia menilai, masih banyak konsumen yang tidak memahami komponen biaya dalam setiap transaksi barang impor, sehingga muncul persepsi negatif terhadap harga dan sistem perdagangan. Disinilah ada kelemahan transparansi dan akuntabilitas terhadap kebijakan pajak selain lemahnya distribusi informasi ke masyarakat Indonesia. 

“Edukasi pajak di masyarakat masih sangat rendah. Banyak orang hanya tahu harga akhir, tanpa memahami bahwa sebagian besar biaya yang mereka bayar berasal dari bea masuk dan pajak tambahan. Ini menimbulkan ketidakpuasan dan salah persepsi terhadap pelaku usaha,” ujarnya.

Syukriy menekankan, perlu ada sinergi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan pelaku usaha dalam membangun literasi pajak publik. Dengan pemahaman yang lebih baik, masyarakat dapat melihat hubungan antara kebijakan fiskal, perlindungan industri nasional, dan kepentingan konsumen secara lebih objektif.

“Tujuan pajak itu baik untuk melindungi dan memperkuat ekonomi nasional  tapi implementasinya harus cermat. Jangan sampai niat melindungi UMKM justru berbalik menekan daya beli dan menimbulkan ketimpangan baru di pasar,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI