DIALEKSIS.COM | Jakarta - Kementerian Kesehatan RI menegaskan kembali komitmennya untuk mengeliminasi HIV dan infeksi menular seksual (IMS) pada 2030. Pemerintah mendorong edukasi, deteksi dini, serta pengobatan sebagai kunci utama untuk menekan kasus yang masih tinggi, terutama di kalangan usia muda dan populasi kunci.
“Target kita 95-95-95 tercapai di tahun 2030,” tegas Direktur Penyakit Menular Kemenkes, dr. Ina Agustina dalam pernyataan resmi seperti yang diterima pada Sabtu (21/6/2025).
Artinya, 95 persen orang dengan HIV (ODHIV) harus tahu statusnya, 95 persen dari mereka menjalani terapi antiretroviral (ARV), dan 95 persen dari yang diobati harus mencapai viral load tersupresi, atau kadar virus yang tidak terdeteksi dan sangat rendah risiko menularnya.
Namun, tantangan masih besar. Saat ini, dari sekitar 564.000 ODHIV di Indonesia, baru 63 persen yang tahu statusnya. Dari jumlah itu, 67 persen sudah menjalani ARV, dan hanya 55 persen yang mencapai viral load tidak terdeteksi.
Papua Darurat, IMS Naik di Remaja
Kasus HIV tertinggi berada di 11 provinsi, termasuk DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua, dan Bali. “Papua jadi perhatian khusus karena penularan sudah menyebar ke populasi umum. Prevalensi HIV di sana mencapai 2,3 persen,” jelas dr. Ina.
Populasi kunci yang paling terdampak HIV di Indonesia antara lain laki-laki seks dengan laki-laki (LSL), waria, pekerja seks, dan pengguna napza suntik.
Tak hanya HIV, Kemenkes juga mencatat lonjakan kasus IMS seperti sifilis dan gonore, terutama di kelompok usia produktif dan remaja. Tahun lalu, tercatat 23.347 kasus sifilis, mayoritas merupakan sifilis dini. Terdapat pula 77 kasus sifilis kongenital, ditularkan dari ibu ke bayi.
“IMS bukan masalah pribadi, tapi masalah kesehatan masyarakat. Kasus terbanyak terjadi di usia 25-49 tahun, tapi tren remaja usia 15-19 tahun mulai meningkat,” kata dr. Ina.
Kasus gonore juga tak kalah tinggi, mencapai 10.506 kasus, paling banyak di DKI Jakarta.
IMS Bisa Picu Kemandulan dan Kanker Serviks
Menurut dr. dr. Hanny Nilasari, SpDV dari FKUI-RSCM, banyak IMS tidak menunjukkan gejala, terutama pada perempuan. Ini berisiko menyebabkan komplikasi serius bila tak ditangani.
“IMS bisa sebabkan radang panggul, infertilitas, bahkan kehamilan ektopik. Pada ibu hamil, bisa memicu bayi lahir prematur, berat lahir rendah, atau kematian neonatal,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan soal infeksi Human Papillomavirus (HPV) yang bisa memicu kanker serviks, salah satu kanker paling mematikan bagi perempuan.
Kemenkes Genjot Layanan dan Edukasi Seksual Aman
Kemenkes saat ini menyediakan layanan HIV di 514 kabupaten/kota, layanan IMS di 504 kabupaten/kota, dan tes viral load di 192 kabupaten/kota. Pemerintah juga menargetkan eliminasi sifilis dan gonore hingga 90 persen, serta eliminasi penularan HIV, sifilis, dan hepatitis B dari ibu ke anak (triple elimination).
Strategi pencegahan terus digencarkan lewat pendekatan “ABCDE”:
1. Abstinence: tidak berhubungan seks sebelum menikah
2. Be faithful: setia pada satu pasangan
3. Condom: gunakan kondom jika berisiko
4. Drugs: jauhi narkoba
5. Education: edukasi dan kesadaran
“Kita harus mulai dari edukasi sejak remaja. Sudah banyak IMS dan kehamilan tidak diinginkan di usia muda, bahkan kasus aborsi,” tegas dr. Hanny. [in]