Kamis, 23 Oktober 2025
Beranda / Pemerintahan / Langkah Kecil, Dampak Besar, Jejak Awal Keberhasilan Mualem Memimpin Aceh

Langkah Kecil, Dampak Besar, Jejak Awal Keberhasilan Mualem Memimpin Aceh

Rabu, 22 Oktober 2025 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : MRZ

Gubernur Aceh, H. Muzakir Manaf (Mualem). Foto: Humas Pemprov Aceh 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Berapa pun usia sebuah kepemimpinan, sejatinya bukanlah ukuran keberhasilan seorang pemimpin. Waktu bisa singkat, tetapi arah kebijakan dan pola kerja yang dibangun akan menentukan nasib daerah dalam jangka panjang. Itulah yang kini terlihat dalam kepemimpinan Gubernur Aceh, H. Muzakir Manaf (Mualem), sejak resmi dilantik pada 12 Februari 2025.

Langkah-langkah Mualem di awal masa jabatannya telah mengundang perhatian publik, bukan semata karena ketegasannya, tetapi karena keberpihakannya kepada rakyat.

1. Menghidupkan Spirit Syariat, Seruan Tutup Toko Saat Waktu Shalat

Dalam momentum Ramadan, Mualem kembali memantik diskusi publik ketika menyampaikan niatnya mengeluarkan surat edaran penghentian aktivitas ekonomi saat waktu shalat. Menurutnya, Aceh sebagai daerah bersyariat harus menegakkan nilai-nilai Islam secara nyata, bukan simbolik.

Walau sempat menimbulkan pro dan kontra, ide tersebut menunjukkan keberanian seorang pemimpin untuk menegakkan prinsip moral di tengah arus pragmatisme ekonomi. Kebijakan ini mencerminkan semangat Mualem menjaga ruh spiritual Aceh di tengah modernitas.

2. Ekonomi Bangkit, Pabrik Karet, Rokok, dan Investasi Asing

Tak berhenti pada simbol keislaman, Mualem juga menaruh perhatian serius pada pembangunan ekonomi riil. Ia meresmikan pendirian PT Potensi Bumi Sakti (PBS) di Meulaboh, Aceh Barat,  pabrik pengolahan karet yang akan memproduksi rubber crumb dan ban mobil. Disusul dengan rencana pembangunan pabrik rokok di Aceh Utara, serta beberapa investasi baru yang sedang dalam tahap negosiasi.

Bagi Mualem, investasi bukan sekadar angka modal, tetapi alat untuk membuka lapangan kerja dan menekan pengangguran. “Yang penting Aceh berkembang dan rakyat bekerja,” tegasnya.

Komitmen ini diperkuat dengan kerja sama strategis dengan perusahaan asal Tiongkok, Zhongke Holding Green Technology Co Ltd, melalui penyediaan lahan 300 hektare di Aceh Besar untuk proyek peternakan terpadu. Langkah ini menandai upaya diversifikasi ekonomi Aceh ke sektor agribisnis modern, bekerja sama dengan BUMD PEMA.

3. Reformasi Tata Kelola, Menertibkan Tambang Ilegal

Di sektor sumber daya alam, Mualem menunjukkan ketegasan luar biasa. Melalui Instruksi Gubernur Aceh Nomor 08/INSTR/2025 dan Keputusan Gubernur Nomor 0007/1144/2025, ia membentuk Tim Penertiban Tambang Ilegal serta melakukan evaluasi besar-besaran terhadap izin usaha tambang.

Kebijakan ini menjadi tonggak baru dalam penataan tambang dan pelestarian lingkungan di Aceh. Langkah tegas namun terukur ini menandakan Mualem ingin sumber daya alam dikelola secara adil, berkelanjutan, dan memberi manfaat langsung kepada masyarakat, bukan segelintir pihak.

4. Konsistensi Mualem dalam Menegakkan Nasionalisme Keacehan

Dalam bidang nasionalisme keacehan, Gubernur Muzakir Manaf (Mualem) menunjukkan ketenangan dan ketegasan dalam memperjuangkan kedaulatan wilayah serta menjaga marwah Aceh di tingkat nasional.

Langkah nyata terlihat ketika Mualem berhasil melobi Pemerintah Pusat untuk mengembalikan empat pulau di wilayah Aceh Singkil yang sebelumnya diklaim oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Melalui upaya diplomatis dan komunikasi intensif, Kemendagri RI akhirnya mengeluarkan surat keputusan yang menegaskan kembali bahwa keempat pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Aceh. Presiden Prabowo Subianto bahkan turun langsung untuk menyelesaikan polemik ini, sehingga keputusan cepat dapat diambil tanpa menimbulkan kerugian bagi pihak mana pun.

Upaya serupa juga dilakukan Mualem terkait status kepemilikan tanah Lapangan Blang Padang di Banda Aceh. Lahan bersejarah itu diklaim sebagai aset milik TNI Angkatan Darat, padahal menurut catatan sejarah, tanah tersebut merupakan tanah wakaf Masjid Raya Baiturrahman. Dengan langkah yang sistematis, Mualem menyurati berbagai pihak, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Agama, untuk memproses pengembalian status tanah wakaf tersebut.

Meskipun hasilnya belum final, langkah-langkah yang ditempuh menunjukkan komitmen kuat Mualem dalam menjaga identitas, kehormatan, dan hak-hak masyarakat Aceh atas tanah dan wilayahnya.

5. Pengakuan Nasional, Dari BUMD Hingga Pesantren Award

Kinerja Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Mualem mulai menuai hasil.

Pada 28 April 2025, ia dinobatkan sebagai Top Pembina BUMD dalam ajang Top BUMD Awards 2025. Di bawah bimbingannya, PT BPR Mustaqim Aceh (Perseroda) meraih predikat BPR Syariah Bintang 5 dan Direktur Utamanya, Raisul Mukhlis, dinobatkan sebagai TOP CEO 2025.

Selain itu, Pemerintah Aceh juga menerima apresiasi nasional dari Kementerian PKP atas kontribusi dalam Program Strategis Nasional Pembangunan 3 Juta Rumah. Pada 25 Agustus 2025, Kementerian kembali memberikan penghargaan kepada Aceh atas keberhasilan mendorong pembangunan rumah layak huni dan kawasan pemukiman tertata.

Di bidang sosial-keagamaan, nama Mualem kembali diperhitungkan di tingkat nasional. Ia menerima Pesantren Award 2025 untuk kategori Kepala Daerah Pendukung Tiga Fungsi Pesantren di bidang Pendidikan, Dakwah, dan Pemberdayaan Masyarakat. Penghargaan itu diserahkan dalam rangkaian peringatan Hari Santri Nasional 2025, menandai pengakuan atas kepedulian Mualem terhadap pendidikan dan peran pesantren dalam pembangunan Aceh.

6. Revisi UUPA dan Perpanjangan Dana Otsus Aceh

Wacana revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan perpanjangan Dana Otonomi Khusus (Otsus) kembali menjadi perhatian publik. Dua isu strategis ini bukan hanya berkaitan dengan aspek hukum dan fiskal, tetapi juga menyangkut arah masa depan Aceh dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

Sejak diberlakukan pada 2006, UUPA menjadi pondasi utama pelaksanaan kekhususan Aceh sebagai amanat dari Perjanjian Helsinki. Namun, seiring perubahan zaman, sejumlah pasal dalam UUPA dinilai sudah tidak relevan dengan kebutuhan hari ini. Banyak ketentuan yang multitafsir, tumpang tindih dengan regulasi nasional, bahkan belum terlaksana optimal.

Karena itu, langkah Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang berkunjung ke Aceh untuk menyerap aspirasi dari berbagai kalangan, mulai dari pemerintah daerah, ulama, akademisi hingga masyarakat sipil yang merupakan langkah positif. Aspirasi ini penting agar revisi UUPA benar-benar selaras dengan kondisi terkini dan berpihak pada kemaslahatan rakyat. Harapannya, revisi tersebut dapat memperkuat kewenangan Aceh dalam pengelolaan sumber daya alam, mempertegas fungsi lembaga kekhususan seperti Wali Nanggroe dan Mahkamah Syariah, serta menata hubungan pusat dan daerah secara lebih proporsional.

Sementara itu, perpanjangan Dana Otonomi Khusus Aceh menjadi hal yang paling utama dan mendesak. Dana ini selama hampir dua dekade terakhir telah menjadi penopang utama pembangunan Aceh di berbagai sektor, dimulai dari pendidikan, kesehatan, infrastruktur hingga pemberdayaan ekonomi rakyat. Namun yang paling penting, Dana Otsus berperan besar dalam mengurangi angka kemiskinan, menurunkan tingkat pengangguran, serta meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat Aceh.

Tanpa keberlanjutan Dana Otsus, program-program prioritas untuk membuka lapangan kerja baru, mendukung wirausaha muda, hingga memperluas akses pendidikan dan kesehatan berpotensi terhenti. Oleh karena itu, perpanjangan Dana Otsus bukan sekadar kebutuhan fiskal, tetapi merupakan bagian dari strategi besar pembangunan sosial-ekonomi Aceh.

Revisi UUPA dan perpanjangan Dana Otsus adalah dua kebijakan yang saling melengkapi. Revisi UUPA memperkuat dasar hukum kekhususan Aceh, sedangkan perpanjangan Dana Otsus memastikan daya dukung finansial untuk mengentaskan kemiskinan dan mempercepat kemajuan daerah.

Masuknya revisi UUPA ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas menjadi angin segar bagi Aceh. Semoga langkah ini segera diwujudkan melalui kerja sama konstruktif antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat, agar semangat perdamaian dan keadilan yang lahir dari MoU Helsinki terus berbuah menjadi kesejahteraan nyata bagi seluruh rakyat Aceh.

7. Pondasi Kepemimpinan yang Mulai Terbentuk

Bila diukur dari capaian fisik, mungkin terlalu dini menyimpulkan keberhasilan besar. Namun dari arah kebijakan dan langkah-langkah awal, terlihat pondasi kepemimpinan yang tegas, religius, dan berorientasi pada rakyat.

Dalam waktu kurang dari satu tahun, Mualem berhasil : 

1. Menunjukkan keberpihakan pada rakyat kecil,

2. Menata sektor energi dan tambang,

3. Mendorong investasi industri dan agribisnis,

4. Menegakkan nilai syariat,

5. Membawa Aceh meraih berbagai penghargaan nasional.

Langkah-langkah kecil itu bisa jadi cikal bakal perubahan besar bagi Aceh.

Jika konsistensi ini terus dijaga, bukan tidak mungkin kepemimpinan Mualem akan dikenang sebagai era kebangkitan baru Aceh. Aceh yang tegas, mandiri, dan berdaulat di atas nilai-nilai yang diyakininya.[]

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI