DIALEKSIS.COM | Jakarta - Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dinilai menjadi kebutuhan mendesak. Regulasi yang lahir dari amanat damai MoU Helsinki ini seharusnya menjadi fondasi utama bagi kekhususan Aceh. Namun, setelah hampir dua dekade berjalan, implementasinya masih menyisakan banyak kelemahan.
“Banyak pasal multitafsir, posisi tawar Pemerintah Aceh lemah, dan kepastian hukum sering tidak jelas. Karena itu, revisi UUPA tidak boleh dilakukan setengah hati,” kata Masady Manggeng, putra Aceh sekaligus pemerhati politik dan pemerintahan, kepada Dialeksis, Jumat (12/9/2025).
Masady mengingatkan, masyarakat Aceh berhak mengetahui isi revisi yang sedang diproses. Menurutnya, jangan sampai revisi hanya menjadi formalitas politik yang ditetapkan di Senayan.
“Revisi ini tidak boleh seperti membeli kucing dalam karung. Kalau tidak transparan dan tidak menyentuh masalah pokok, Aceh hanya akan menghadapi kelemahan baru di masa depan,” ujarnya.
Masady menilai kelemahan UUPA terlihat jelas dalam implementasi Otonomi Khusus (Otsus). Hampir setiap tahun, dana Otsus menyisakan SILPA (Sisa Lebih Penggunaan Anggaran). Kondisi itu, kata dia, menjadi bukti lemahnya perencanaan dan eksekusi di Aceh.
“Program Otsus selama ini lebih banyak menyentuh pembangunan fisik. Sementara aspek pemberdayaan ekonomi rakyat, pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja sering terabaikan. Evaluasi kelemahan ini harus menjadi pijakan utama dalam revisi,” tegas Masady.
Dalam pandangan Masady, revisi UUPA harus mampu memperkuat bargaining politik dan fiskal Pemerintah Aceh terhadap Pemerintah Pusat. Ia menilai Aceh tidak boleh terus diposisikan hanya sebagai obyek kebijakan, melainkan subjek yang dihormati dalam kerangka NKRI.
“Penguatan kewenangan fiskal, politik, dan pemerintahan harus diatur jelas. Bahkan, salah satu bentuk bargaining yang perlu diperjuangkan adalah penambahan kursi DPR RI untuk Aceh, agar representasi politik kita lebih kuat di pusat,” ujarnya.
Masady menekankan pentingnya menempatkan revisi UUPA dalam Prolegnas Prioritas 2025. Tanpa status prioritas, katanya, revisi hanya akan menjadi wacana berulang yang tak pernah tuntas.
“Waktu terus berjalan, sementara masa berlaku Otsus Aceh memiliki implikasi besar. Jika revisi tidak menjadi prioritas, maka arah kebijakan Aceh akan terus kabur,” kata dia.
Masady juga mengkritik Forum Bersama (Forbes) DPR/DPD RI asal Aceh. Menurutnya, distribusi anggota Forbes di DPR RI belum mencerminkan kepentingan strategis Aceh.
“Yang paling penting adalah ada orang Aceh di Komisi II DPR RI, karena komisi itu membidangi urusan pemerintahan dalam negeri dan pengawalan kekhususan. Tapi saat ini kosong. Ini kelemahan besar,” ujarnya.
Ia menilai Gubernur Aceh memiliki peran penting dalam membangun komunikasi dengan pimpinan partai politik, agar anggota Forbes ditempatkan di komisi yang tepat. “Kalau Gubernur berani mengambil peran ini, Aceh akan punya posisi tawar lebih kuat. Peran Mualem (Muzakir Manaf) sebagai tokoh sentral politik Aceh sangat menentukan,” kata Masady.
Bagi Masady, revisi UUPA bukan sekadar agenda teknis legislasi, tetapi simbol keadilan sekaligus ujian komitmen negara terhadap janji perdamaian. Karena itu, ia mendesak semua pihak DPR RI, DPD RI, Forbes Aceh, hingga DPRA untuk serius memperjuangkannya.
“Harapan rakyat Aceh sederhana revisi UUPA harus membawa kepastian, keadilan, dan kesejahteraan nyata. Jangan sampai Aceh kembali menjadi korban politik setengah hati,” pungkas Masady.