DIALEKSIS.COM | Jakarta - Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemenham) menyoroti penyitaan sejumlah buku saat aparat kepolisian menangkap aktivis literasi di Kediri, Jawa Timur. Tindakan itu dinilai tidak sejalan dengan semangat demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia (HAM).
“Langkah Polres Kediri kurang tepat. Aparat seharusnya memperhatikan prinsip HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR),” ujar Staf Ahli Bidang Penguatan Reformasi Birokrasi dan Legislasi Kemenham, Prof. Rumadi Ahmad, dalam siaran pers, Selasa, 23 September 2025
Rumadi menekankan, penyitaan buku bertolak belakang dengan visi Presiden Prabowo Subianto dalam Asta Cita I yang menekankan penguatan ideologi Pancasila, demokrasi, dan HAM.
Menurutnya, kebijakan semacam itu justru bisa merusak upaya pemerintah membangun tradisi demokratis.
“Pelarangan atau perampasan buku bukan hanya melanggar hak sipil, tapi juga mengganggu tradisi literasi masyarakat. Presiden sendiri berulang kali menegaskan pentingnya menjaga budaya membaca,” kata Rumadi
Kemenham mengingatkan, tindakan berlebihan aparat dapat merugikan kehidupan intelektual masyarakat. Membaca, kata Rumadi, adalah bagian dari mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Literasi adalah ruh demokrasi. Polisi tidak boleh mengambil langkah eksesif yang berpotensi membunuh tradisi itu,” ujarnya.
Kasus penyitaan buku ini juga disebut menegaskan urgensi reformasi di tubuh Kepolisian RI. Kemenham mendesak perubahan menyeluruh, bukan sekadar kosmetik.
“Reformasi kepolisian harus menyentuh hal-hal substansial, termasuk perubahan cara pandang aparat agar lebih demokratis, profesional, dan menghormati HAM,” tegas Rumadi