DIALEKSIS.COM | Jakarta - Nasruddin Bahar, Koordinator Transparansi Tender Indonesia (TII), menyoroti praktik pengelolaan dana Pokok Pikiran (Pokir) Anggota Dewan yang dinilai sarat penyimpangan. Dalam keterangannya, ia mengungkap sindiran halus "MAFEEYA" (Makan Fee Aja) yang kerap dialamatkan kepada oknum anggota dewan yang diduga mengambil keuntungan pribadi melalui mekanisme penganggaran ini.
Secara prosedur, Pokir diusulkan anggota dewan berdasarkan aspirasi masyarakat saat reses di daerah pemilihan (dapil). Program ini kemudian diajukan ke dinas terkait (SKPA) untuk dianggarkan menjadi paket pekerjaan, baik fisik maupun non-fisik. Namun, Nasruddin menegaskan bahwa praktik di lapangan jauh dari ideal.
“Dana Pokir sepenuhnya dikuasai anggota dewan, mulai dari penunjukan rekanan hingga penetapan proyek. Dinas pun tak berdaya menolak,” ujarnya.
Yang mengkhawatirkan, sejumlah proyek di Dinas Pendidikan masuk dalam anggaran Pokir tanpa melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), seperti pengadaan alat peraga sekolah, tong sampah, pemasangan paving block, hingga kegiatan bimbingan teknis (bimtek).
“Masyarakat tidak pernah membahas ini. Lalu, apa hubungannya kebutuhan sekolah dengan kewenangan anggota dewan menetapkan proyek?” tanya Nasruddin.
Ia juga membeberkan modus kolusi antara legislatif dan eksekutif. Menurutnya, dinas kerap mengusulkan program kerja kepada anggota dewan agar “diamankan” lewat skema Pokir. “Proyek yang diusung dengan label Pokir Dewan sudah ditandai ‘pemiliknya’, sehingga aman saat dibahas di DPR,” paparnya. Untuk memastikan rekanan terpilih, seorang koordinator ditunjuk sebagai penghubung antara dinas dan penyedia jasa, dengan komitmen fee tertentu.
Nasruddin menyayangkan sikap aparat penegak hukum (APH) yang dinilai tutup mata terhadap potensi penyalahgunaan wewenang ini. “Apakah anggota dewan mau menerima fee tanpa ikut campur penunjukan rekanan? Apa APH tidak mencium unsur pelanggaran?” tegasnya.
Ia mempertanyakan legitimasi anggota dewan menunjuk koordinator proyek, yang seharusnya menjadi kewenangan eksekutif.
Sebagai penutup, Nasruddin mendesak APH mengusut tuntas praktik yang telah berlangsung bertahun-tahun ini. “Dana Pokir harus dikembalikan ke khittahnya: untuk rakyat, bukan jadi ajang bagi-bagi proyek dan fee,” pungkasnya.
TII juga mendorong reformasi sistem penganggaran yang lebih transparan, termasuk pelibatan masyarakat dalam pengawasan.