Senin, 11 Agustus 2025
Beranda / Pemerintahan / Populasi Kuda Gayo Kian Menurun, Upaya Pelestarian Kian Dibutuhkan Agar Tak Punah

Populasi Kuda Gayo Kian Menurun, Upaya Pelestarian Kian Dibutuhkan Agar Tak Punah

Senin, 11 Agustus 2025 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Kuda Gayo. [Foto: Dokumen Pusat Riset Sapi Aceh dan Ternak Lokal, Universitas Syiah Kuala (USK) untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kuda Gayo, salah satu rumpun kuda asli Indonesia yang menjadi kebanggaan masyarakat dataran tinggi Aceh, kini menghadapi ancaman serius. Populasinya menurun drastis di hampir semua daerah sebarannya, memicu kekhawatiran para ahli dan pegiat pelestarian satwa lokal.

Ketua Pusat Riset Sapi Aceh dan Ternak Lokal, Universitas Syiah Kuala (USK), Prof. Dr. Ir. Eka Meutia Sari, M.Sc, mengungkapkan bahwa kondisi ini sudah terdeteksi sejak beberapa tahun terakhir melalui riset lapangan di Aceh Tengah dan wilayah sekitar saat ini tersisa hanya 85 ekor lagi artinya, sudah di ambang kepunahan.

“Sejak 2014, sebenarnya Kuda Gayo sudah mendapat pengakuan resmi dari negara melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1054/Kpts/SR.120/D/2014. Tapi ironisnya, meski sudah diakui sebagai rumpun kuda asli Indonesia, populasinya justru terus menurun,” ujarnya kepada media dialeksis.com, Senin (11/8/2025).

Menurutnya, Kuda Gayo tersebar di empat kabupaten yaitu Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara. Di tiga kabupaten pertama, mayoritas kuda dipelihara untuk pacuan, sementara di Aceh Tenggara juga digunakan dalam upacara adat Suku Alas, seperti pernikahan dan khitanan.

“Dulu hampir setiap rumah di kampung punya kuda, sekarang jumlahnya menyusut drastis. Penyebabnya, minat peternak untuk memelihara kuda pacu mulai berkurang. Padahal kejuaraan pacuan kuda tetap ada setiap tahun,” jelasnya.

Prof. Eka menilai Pemerintah Aceh sudah berupaya maksimal mengangkat nama Kuda Gayo, termasuk memprakarsai terbitnya SK Menteri Pertanian dengan kajian akademik dari tim USK yang ia pimpin. Namun, ia mengingatkan, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian.

“Pengakuan negara itu penting, tapi mempertahankan populasi butuh kerja kolektif. Pemerintah harus melibatkan Persatuan Olahraga Berkuda Indonesia (Pordasi) Aceh, pemerhati, pelaku budidaya, hingga perguruan tinggi. Jangan sampai kuda Gayo hanya menjadi simbol di atas kertas,” tegasnya.

Ia mengkhawatirkan, jika masyarakat Tanah Gayo sendiri kehilangan minat memelihara kuda ini, pelestarian akan sulit berhasil. “Jangan sampai kuda Gayo hanya dianggap milik pemerintah, sementara rakyatnya sudah tak peduli,” tambahnya.

Menurut Prof. Eka, hilangnya Kuda Gayo bukan sekadar kehilangan hewan pacu. Dampaknya jauh lebih besar: hilangnya satu rumpun sumber daya genetik ternak lokal yang telah menjadi bagian dari sejarah dan budaya Aceh.

“Kuda Gayo bahkan sudah menjadi bahan ajar di mata kuliah Sumber Daya Genetik Ternak Lokal di seluruh perguruan tinggi peternakan di Indonesia. Kalau punah, kerugiannya bukan hanya bagi Aceh, tapi seluruh Indonesia,” ungkapnya.

Di tengah keterbatasan dana dan sumber daya, Prof. Eka menawarkan strategi pelestarian yang realistis: dengan membuat kontes Kuda Gayo tahunan di empat kabupaten sebaran untuk memantau kuda unggul sesuai standar Kementerian Pertanian.

Selain itu, membuat kelas pacuan khusus yang diinisiasi bersama Pordasi Aceh dengan hadiah prestisius guna menarik minat peternak.

Ia juga mendorong agar Kuda Gayo didaftarkan sebagai satwa dilindungi ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencegah penurunan populasi.

Dalam hal ini, pengembangan wisata pacuan kuda Tradisional sebagai atraksi budaya dan edukasi. Pndampingan Teknis dari Pusat Riset USK untuk menjaga kualitas genetik kuda unggul.

"Kita harap ini menjadi atensi kita bersama, sekarang waktunya bertindak, sebelum terlambat," pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI