DIALEKSIS.COM | Jakarta - Penetapan status bencana nasional atas banjir bandang dan longsor di sejumlah wilayah Sumatra masih memicu perdebatan publik. Namun pemerintah menegaskan bahwa sejak hari pertama, penanganan bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah dilakukan dengan skala nasional.
Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya menyatakan pemerintah pusat langsung melakukan mobilisasi besar-besaran sejak 26 November lalu, meski tanpa penetapan formal status bencana nasional.
“Sejak hari pertama, pemerintah pusat sudah melakukan penanganan skala nasional di tiga provinsi ini, langsung mobilisasi nasional,” kata Teddy, Jumat (19/12).
Menurutnya, lebih dari 50 ribu personel gabungan TNI, Polri, Basarnas, BNPB, serta relawan telah dikerahkan. Pemerintah pusat juga memastikan pembiayaan penanganan menggunakan dana nasional.
“Bapak Presiden sudah menyampaikan, penanganan ini menggunakan dana pusat. Total anggaran Rp60 triliun sudah dikeluarkan secara bertahap untuk hunian sementara, hunian tetap, dan fasilitas umum,” ujarnya.
Namun di lapangan, sejumlah relawan menilai absennya status bencana nasional berdampak pada koordinasi dan kecepatan eksekusi. Relawan Mer-C, Ira Hadiati, mengatakan garis komando penanganan kali ini tidak sejelas saat tsunami Aceh 2004.
“Kalau bencana nasional, komandonya jelas di RI1. Sekarang ini lebih ke perintah, bukan komando. Itu berpengaruh ke kecepatan gerak,” kata Ira.
Ia mencontohkan perbaikan akses vital seperti jembatan dan jalan yang memakan waktu lebih lama, padahal akses tersebut krusial untuk membuka wilayah terisolasi. Selain itu, distribusi bantuan di sejumlah daerah seperti Bener Meriah dan Aceh Tamiang masih terkendala akibat akses terputus.
Kondisi ini turut berdampak pada kenaikan harga kebutuhan pokok serta meningkatnya risiko penyakit akibat sanitasi yang belum pulih. “Lumpur masih menumpuk, air bersih terbatas, ISPA mulai meningkat,” ujarnya.
Pandangan serupa disampaikan Videl Jemali, penyintas gempa dan likuifaksi Palu 2018. Ia menilai bantuan internasional dan pembentukan satuan tugas lintas kementerian saat itu membantu mempercepat pemulihan, meski Palu juga tidak ditetapkan sebagai bencana nasional.
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), Avianto Amri, menilai penanganan bencana besar idealnya dilakukan secara kolaboratif, termasuk membuka ruang bagi bantuan internasional.
“Bantuan internasional adalah bentuk solidaritas kemanusiaan. Menutup diri justru melemahkan kerja lembaga non-pemerintah yang selama ini membantu pemerintah,” kata Avianto.
Menanggapi kritik tersebut, Seskab Teddy menegaskan pemerintah tetap terbuka terhadap masukan dan mengajak semua pihak bergotong royong. Ia menyebut dukungan logistik dan sarana prasarana telah dikerahkan secara masif, termasuk lebih dari 100 kapal, pesawat, helikopter, serta sekitar seribu alat berat dari berbagai daerah.
“Apakah semuanya sudah sempurna? Tentu belum. Karena itu ayo kita saling dukung dan bahu-membahu,” ujarnya.
Pemerintah juga melaporkan progres pemulihan akses jalan dan jembatan di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat yang terus berjalan, meski beberapa titik masih memerlukan penanganan lanjutan.
Di tengah keterbatasan, relawan menyoroti kuatnya solidaritas warga di lokasi terdampak. “Warga bantu warga. Meski sama-sama korban, mereka tetap saling menolong,” kata Ira.
Pemerintah menegaskan akan terus mempercepat pemulihan dan memastikan kebutuhan dasar masyarakat terdampak dapat terpenuhi, sembari mengajak semua pihak menjaga kekompakan dan optimisme di tengah bencana.