Senin, 14 Juli 2025
Beranda / Pemerintahan / Yusril Ihza Mahendra Resmikan Monumen Rumoh Geudong di Pidie

Yusril Ihza Mahendra Resmikan Monumen Rumoh Geudong di Pidie

Kamis, 10 Juli 2025 07:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra. Foto: ©merdeka.com


DIALEKSIS.COM | Aceh - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, dijadwalkan meresmikan Memorial Living Park di eks lokasi Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Kamis, 10 Juli 2025. Monumen ini dibangun sebagai bentuk penghormatan terhadap para korban pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh pada masa konflik bersenjata silam.

“Kami datang ke Aceh dengan berbagai agenda. Saya bersama Wakil Menteri HAM akan ke Pidie untuk meresmikan monumen Rumoh Geudong. Di sana juga akan diberikan santunan talih asih kepada korban dan masyarakat sekitar,” kata Yusril usai acara silaturahmi dan makan malam bersama Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, di Anjong Mon Mata, Rabu malam, 9 Juli 2025.

Selain menghadiri peresmian monumen tersebut, Yusril juga dijadwalkan hadir dalam seminar rencana pengajuan gelar pahlawan nasional bagi almarhum Teuku Daud Beureueh, serta akan mengisi khutbah Jumat di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.

Dalam pernyataannya, Yusril menyampaikan apresiasinya terhadap sambutan hangat dari Pemerintah Aceh. “Sambutan yang baik dari Pak Gubernur Muzakir Manaf, mudah-mudahan semakin mempererat hubungan antara pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh. Kami yakin, tidak ada masalah yang tak bisa diselesaikan, selama ada iktikad baik dan musyawarah,” ujarnya.

Dalam kunjungan kerja ini, Wakil Menteri Hak Asasi Manusia, Mugiyanto, juga menyampaikan bahwa pihaknya telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Pemerintah Aceh terkait penguatan isu - isu HAM.

“Tentu saja agenda Kemenkumham adalah soal HAM. Kita ingin memperkuat pemahaman HAM di kalangan ASN, sekaligus memperluas program-program penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh. MoU ini masih bersifat umum dan nantinya akan diturunkan dalam perjanjian kerja lebih rinci,” ujar Mugiyanto.

Ia menambahkan, program penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM di Aceh masih akan terus dilanjutkan. “Besok, kami bersama Menko akan ke Pidie untuk meresmikan Memorial Living Park. Ini merupakan bagian dari upaya penyelesaian non-yudisial,” ungkapnya.

Mugiyanto juga menyebutkan telah bertemu langsung dengan komunitas korban Rumoh Geudong. Ia menyampaikan bahwa para korban memberikan apresiasi atas langkah yang diambil pemerintah saat ini. 

“Fokus kita adalah pemulihan hak-hak korban agar tragedi seperti ini tidak terjadi lagi di masa depan,” tegasnya.

Memorial Living Park Aceh dibangun sebagai monumen peringatan atas tragedi pelanggaran HAM berat di lokasi bekas Rumoh Geudong. Pembangunan taman memorial ini mencakup berbagai fasilitas seperti gerbang utama, jalur pedestrian, area parkir, taman dan Tugu Perdamaian, masjid beserta plaza, arena bermain anak, serta elemen hardscape dan softscape lainnya.

Desain taman ini mengadopsi kekhasan budaya lokal Pidie, mulai dari ornamen, elemen arsitektur masjid, hingga tata taman, dengan tujuan menciptakan suasana reflektif dan damai bagi pengunjung serta warga sekitar.

Rumoh Geudong dikenal sebagai salah satu simbol paling kelam dalam sejarah konflik bersenjata di Aceh. Selama periode 1989“1998, rumah adat yang terletak di Desa Bili, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie ini, dijadikan markas militer dalam operasi militer terhadap Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam bangunan itu, warga sipil diduga mengalami berbagai bentuk penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, hingga kekerasan seksual.

Pada 20 Agustus 1998, pasca runtuhnya rezim Orde Baru, massa yang marah membakar rumah tersebut sebagai bentuk perlawanan dan simbol berakhirnya kekejaman yang terjadi di dalamnya.

Kini, dua puluh enam tahun kemudian, lokasi itu diubah menjadi taman memorial. Pemerintah melalui Kemenko Kumham menyatakan bahwa pembangunan ini bukan hanya simbol pengakuan negara atas masa lalu, tetapi juga sebagai ikhtiar rekonsiliasi dan pemulihan menyeluruh bagi para korban dan generasi Aceh ke depan.

"Kita ingin membangun masa depan yang damai dan berkeadilan tanpa mengabaikan luka sejarah yang harus dipulihkan," pungkas Yusril.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI