kip lhok
Beranda / Politik dan Hukum / Akademisi: Kandidat Tunggal di Pilkada Bukan Akhir Demokrasi

Akademisi: Kandidat Tunggal di Pilkada Bukan Akhir Demokrasi

Selasa, 13 Agustus 2024 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Muhammad Ridwansyah, dosen Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien Langsa. Foto: for Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Aceh - Fenomena calon tunggal melawan kotak kosong dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak selalu bernada negatif, kata Muhammad Ridwansyah, dosen Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien Langsa, Selasa, 13 Agustus 2024. Menurutnya, situasi ini justru menjadi cermin kekuatan kandidat (people power) di mata konstituennya.

"Kemenangan atau kekalahan kandidat tunggal bergantung pada seberapa dalam akarnya (grassroot) di mata rakyat," ujar Ridwansyah kepada Dialeksis. 

Ia menambahkan, makna kotak kosong sesungguhnya melekat pada sosok kandidat itu sendiri.

Ridwansyah menguraikan beberapa faktor penyebab munculnya fenomena ini. Pertama, lemahnya posisi tawar kandidat lain. Kandidat lain secara elektabilitas sangat rendah dengan kandidat elektabilitas tinggi Kedua, kegagalan komunikasi politik untuk meyakinkan partai. Konsolidasi ousider eksternal dari partai pengusung juga berlaku. 

"Ini bukti adanya kegagalan strategi dan cara pendekatan kandidat lain," katanya.

Terkait anggapan bahwa situasi ini mengindikasikan matinya demokrasi, Ridwansyah membantah keras. Ia berpendapat bahwa esensi demokrasi tetap hidup meski dalam format berbeda. Kotak kosong bukan barang haram demokrasi, yang penting rumusannya 50 persen + 1 persen.

 "Partisipasi rakyat Aceh dalam memilih, baik mendukung calon tunggal atau kotak kosong, adalah wujud nyata demokrasi," tegasnya.

Meski demikian, Ridwansyah mengakui bahwa pilkada dengan calon tunggal memang memiliki dimensi dan suasana yang berbeda dari umumnya. Namun, ia menekankan bahwa hal ini tidak menghilangkan esensi berdemokrasi dalam pilkada.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda