DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pengamat politik dan keamanan sekaligus dosen FISIP Universitas Syiah Kuala, Aryos Nivada, menyambut positif pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat, 7 November 2025. Namun, ia mengingatkan bahwa komisi tersebut hanya akan bermakna bila mampu melahirkan perubahan substantif, bukan sekadar perpanjangan tangan dari kekuasaan.
“Komisi ini jangan menjadi kosmetik politik. Ia harus hadir sebagai mekanisme korektif yang kuat, berani menembus sekat-sekat hierarki kepolisian, dan konsisten memperjuangkan profesionalisme serta akuntabilitas aparat,” kata Aryos Nivada kepada media, Sabtu (8/11/2025).
Menurut Aryos, pembentukan komisi ini muncul di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian akibat berbagai kasus pelanggaran etik, penyalahgunaan wewenang, dan lemahnya transparansi penegakan hukum. Karena itu, komisi ini perlu menjadi wadah restorasi moral Polri membangun kembali citra dan legitimasi sosial lembaga penegak hukum terbesar di Indonesia.
“Reformasi Polri harus diletakkan dalam konteks demokratisasi. Polisi bukan hanya aparat hukum, tapi juga pelayan publik yang tunduk pada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia,” ujarnya.
Ia menambahkan, keberhasilan reformasi Polri bukan diukur dari seberapa cepat perubahan dilakukan, melainkan seberapa dalam akar korupsi kekuasaan dan budaya impunitas mampu dipangkas.
"Perubahan sejati bukan percepatan prosedur, tetapi pendalaman nilai,” katanya.
Aryos mengusulkan agar komisi ini memiliki peta jalan reformasi yang terukur, terbuka, dan berbasis indikator kinerja publik. Ia menilai transparansi progres reformasi harus menjadi bagian dari tanggung jawab moral komisi.
“Publik berhak tahu apa yang sedang direformasi, sejauh mana kemajuan yang dicapai, dan apa hambatannya. Tanpa keterbukaan, komisi akan kehilangan legitimasi sosialnya,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya reformasi kultural di tubuh kepolisian. Menurutnya, selama kultur kekuasaan dan feodalisme masih mengakar, regulasi baru tidak akan efektif.
“Budaya komando yang tertutup harus diimbangi dengan budaya reflektif yang menghargai kritik. Polisi bukan lagi alat negara semata, tapi mitra masyarakat dalam menjaga rasa aman,” ujarnya.
Aryos mengingatkan bahwa berbagai lembaga serupa pernah dibentuk sebelumnya namun tidak membuahkan hasil signifikan. Salah satu penyebabnya adalah minimnya keberanian politik dan tumpulnya daya eksekusi rekomendasi.
“Komisi ini harus diberi gigi, bukan hanya pena. Tanpa mandat yang kuat dan independensi yang dijamin, ia akan berakhir sebagai catatan administratif tanpa dampak,” katanya.
Ia menegaskan perlunya keterlibatan masyarakat sipil dan perguruan tinggi dalam proses reformasi. Menurutnya, reformasi yang hanya digerakkan dari atas akan rapuh, sementara yang dibangun bersama publik akan lebih berkelanjutan.
“Polri membutuhkan ekosistem reformasi, bukan sekadar komisi. Itu berarti partisipasi publik, kontrol akademik, dan keberanian moral dari dalam institusi sendiri,” ujar Aryos.
Sebagai penutup, Aryos menilai pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri bisa menjadi momentum sejarah menuju kepolisian yang demokratis, humanis, dan berintegritas jika dijalankan dengan visi jangka panjang.
“Reformasi Polri bukan proyek lima tahun, tetapi proyek peradaban hukum. Keberhasilannya akan menjadi ukuran kedewasaan demokrasi Indonesia,” pungkasnya. [ra]