kip lhok
Beranda / Politik dan Hukum / Azwir Nazar Kritik Suporter Debat Cagub Aceh yang Terlalu Ribut

Azwir Nazar Kritik Suporter Debat Cagub Aceh yang Terlalu Ribut

Sabtu, 26 Oktober 2024 21:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Peneliti komunikasi politik, Azwir Nazar. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Debat perdana Calon Gubernur Aceh 2024-2029 yang disiarkan langsung oleh televisi nasional berlangsung meriah dan penuh semangat, meskipun diwarnai dengan sorak sorai para pendukung yang cenderung tidak terkendali. 

Peneliti komunikasi politik, Azwir Nazar, menilai secara umum jalannya debat menarik dan berlangsung hangat dari sesi ke sesi. 

"Meski awalnya terkesan normatif, debat ini berhasil mempertahankan dinamika yang membuatnya semakin seru," ujarnya kepada Dialeksis.com, Sabtu, 26 Oktober 2024.

Namun, Azwir menyoroti ketidaktertiban para penonton yang sering kali bersorak terlalu keras, mirip seperti suporter sepak bola. Hal ini membuat siaran langsung menjadi sedikit bising dan kurang kondusif. 

"Ini adalah catatan penting untuk KIP Aceh agar di debat-debat berikutnya penonton lebih tertib, terutama saat para kandidat berbicara," tambahnya.

Dalam penampilannya, Mualem menunjukkan keunggulan yang substansial. Walaupun penyampaiannya ringkas, ia dinilai mampu menyampaikan gagasan-gagasan esensial yang menjadi solusi bagi Aceh. 

Hal ini, menurut Azwir, adalah kelebihan yang membuat Muallem tampak meyakinkan sebagai calon pemimpin. 

Fadlullah atau Dek Fadh yang mendampingi Muallem juga tidak kalah menarik perhatian. Gaya oratorisnya yang menggebu-gebu sukses memikat penonton. 

"Dia terlihat sebagai orator ulung, dan hal ini memberi warna pada penyampaian visi misinya," kata Azwir.

Di sisi lain, Om Bus terlihat lebih santai dan terkesan seperti seorang pejabat yang memberikan sambutan. "Gaya santai Om Bus justru menjadi salah satu kekurangannya dalam debat ini," ujar Azwir. 

Ia mencatat bahwa Om Bus seringkali kurang memanfaatkan waktu secara maksimal, sehingga beberapa argumennya terputus oleh batas waktu yang habis.

Sedangkan Syekh Fadhil, tampil ingin mendominasi panggung debat. Meskipun bicaranya penuh semangat, kecenderungannya mengulang-ulang poin yang sama membuatnya terlihat kurang terstruktur. 

"Hal ini justru membuat mereka, Om Bus dan DekFadh, jadi terlihat meucawoe (terlalu banyak bicara)," ungkap Azwir.

Secara keseluruhan, Azwir menilai bahwa materi debat kali ini sangat bagus dan menyentuh berbagai isu kompleks yang dihadapi Aceh. 

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan menuntut para kandidat untuk memberikan solusi konkret atas permasalahan sosial, ekonomi, dan pemerintahan di Aceh. 

"Ini kesempatan bagi masyarakat untuk melihat langsung kualitas calon pemimpin mereka. Setidaknya, debat ini menjadi media bagi masyarakat untuk mengenal kandidatnya lebih dalam, meskipun belum tentu mempengaruhi pilihan mereka secara signifikan," ujarnya.

Namun, meskipun debat berlangsung dengan baik dan materi yang diangkat cukup berbobot, Azwir skeptis bahwa debat ini akan mempengaruhi preferensi masyarakat Aceh dalam memilih. 

Menurutnya, pemilih Aceh lebih cenderung memilih berdasarkan aspek psikologis dan sosiologis ketimbang rasional. 

"Sayangnya, pemilih rasional di Aceh masih sangat minim," ucapnya.

Azwir menambahkan bahwa dalam kondisi politik saat ini, demokrasi Aceh masih mengidap defisiensi demokrasi atau demokrasi yang sakit. 

Fenomena money politics dan politik transaksional masih banyak terjadi, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. 

Terlepas dari segala kekurangannya, debat ini setidaknya berhasil memberikan hiburan dan kesempatan bagi masyarakat Aceh untuk menilai kualitas calon pemimpin mereka. 

"Harapannya, masyarakat bisa lebih objektif dalam memilih pemimpin berdasarkan kualitas dan kemampuan yang mereka lihat sendiri dalam debat ini," pungkas Azwir. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda