DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXI/2023 tentang pemisahan pemilu nasional dan daerah kembali menuai sorotan.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Annas Maulana, menilai kebijakan ini bisa membawa dampak positif terhadap kualitas demokrasi, namun di sisi lain menimbulkan problematika konstitusional dan teknis, khususnya di Aceh yang memiliki kekhususan melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Menurut Annas, dari sisi idealitas, keputusan MK tersebut patut diapresiasi. Pemisahan pemilu nasional dan daerah dapat membuat proses demokrasi lebih terfokus, mengurangi potensi kecurangan, sekaligus meringankan beban kerja penyelenggara pemilu.
“Satu sisi putusan MK ini bagus, karena memudahkan kita sebagai pemilih dan bisa membuat demokrasi lebih berkualitas. Dengan pemisahan ini, upaya-upaya curang bisa diminimalisir karena Komisi Independen Pemilihan (KIP) bisa lebih fokus pada pemilihan nasional terlebih dahulu, baru dilanjutkan ke daerah,” ujar Annas kepada media dialeksis.com, Minggu (24/8/2025).
Namun, Annas menegaskan, keputusan ini tidak bisa dipandang sederhana. Ia menyoroti konsekuensi langsung berupa perpanjangan masa jabatan sejumlah pejabat politik, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif, yang bisa bertentangan dengan prinsip konstitusi.
“Sisi lain, ini menimbulkan perpanjangan masa jabatan dari para pemangku jabatan. Padahal, Undang-Undang Dasar (UUD) kita sudah mengatur masa jabatan itu lima tahun. Kalau ini dibiarkan, bisa menimbulkan masalah konstitusional. Tetapi di sisi lain, karena putusan MK bersifat final dan mengikat, tentu harus dilaksanakan,” jelasnya.
Selain itu, aspek anggaran juga menjadi persoalan serius. Pemisahan pemilu berarti KIP harus menggelar dua kali penyelenggaraan besar, yang otomatis membutuhkan biaya lebih besar.
“Kalau bicara teknis, jelas KIP akan memerlukan anggaran dua kali lipat. Ini harus benar-benar dipikirkan oleh pemerintah pusat maupun daerah,” tambah Annas.
Annas menilai, Aceh memiliki tantangan tersendiri dalam menyikapi putusan MK 135. Sebagai daerah dengan kekhususan, keputusan ini bisa memberi ruang lebih luas bagi penegasan UUPA dalam ranah politik dan demokrasi.
“Positifnya, kekhususan Aceh bisa semakin kuat. Pengaturan pemilu ini bisa dimasukkan ke dalam UUPA, sehingga regulasi tentang keistimewaan Aceh semakin luas dan kokoh,” katanya.
Namun, ia mengingatkan, jangan sampai kebijakan ini justru menimbulkan jarak politik antara Aceh dan pemerintah pusat. Dominasi partai lokal (parlok) di Aceh, jika tidak dikelola dengan baik, berpotensi menguat dan bisa menimbulkan gesekan dalam hubungan pusat-daerah.
“Sisi negatifnya, kebijakan ini bisa memberi jarak antara Aceh dan pusat, karena peran partai lokal akan semakin besar. Mengingat selama ini parlok mendominasi di Aceh, maka UUPA harus benar-benar disesuaikan dengan regulasi nasional supaya tidak terjadi benturan,” tegas Annas.
Bagi BEM FH USK, putusan MK 135 harus dilihat sebagai momentum penting bagi penguatan demokrasi, sekaligus ujian kedewasaan politik di Aceh. Pemisahan pemilu tidak boleh berhenti pada soal teknis, melainkan juga harus dipandang dalam kerangka lebih besar: konsolidasi demokrasi dan harmonisasi hukum antara Aceh dengan pusat.
“Pada akhirnya, semua bergantung pada implementasi. Putusan MK ini bisa jadi peluang, bisa juga jadi masalah. Kalau Aceh mampu menyesuaikan melalui UUPA, maka demokrasi kita akan semakin matang. Tapi kalau tidak, justru bisa memperlebar jarak dengan pusat,” pungkas Annas.