Catatan Evaluasi Bagi PPP
Font: Ukuran: - +
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Foto: Istimewa
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hampir dipastikan gagal menempatkan kadernya di DPR periode 2024-2029. Ini merupakan kali pertama dalam sejarah partai yang lahir dari fusi partai-partai Islam pada 1973 itu tidak memiliki wakil di Senayan.
Tidak ada satu pun gugatan sengketa Pemilihan Legislatif (Pileg) DPR RI 2024 yang dilayangkan PPP ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang dikabulkan. Ketua Dewan Pimpinan Pusat PPP Achmad Baidowi mengaku terkejut ketika perolehan suara PPP diumumkan Komisi Pemilihan Umum pada 20 Maret lalu.
Baidowi mengklaim data internal mereka menunjukkan PPP berhasil melampaui ambang batas parlemen 4 persen. Dalam gugatan di 18 provinsi ke MK, PPP mengklaim seharusnya meraup 4,02 persen suara sah nasional. Hanya ada satu gugatan PPP yang dianggap MK layak masuk tahap pembuktian, yakni atas perolehan suara mereka di daerah pemilihan Jawa Tengah III. Pada 8 Juni lalu, MK memutuskan gugatan itu tak dapat diterima karena dalilnya kabur.
Dengan demikian, PPP hanya mengantongi 5.878.777 suara atau 3,87 persen dari total suara sah nasional 151.796.631 pada Pileg DPR RI 2024. Itu kurang 0,12 persen dari ambang batas 4 persen. PPP membutuhkan tambahan 193.089 suara untuk lolos ke parlemen.
Konflik Internal Diduga Penyebab
Direktur Trias Politika Strategis Agung Baskoro menduga konflik internal yang berkepanjangan menjadi salah satu faktor PPP terlempar dari DPR. "Secara institusional, PPP diterpa konflik internal dalam waktu lama sehingga citra partai berlambang Ka'bah terus terdegradasi," ujarnya pada 22 Maret lalu.
Konflik internal PPP bahkan dimulai saat menjajaki peluang koalisi sebelum tahapan Pemilu 2024 berjalan. Di tengah kampanye Pilpres 2024, sejumlah kader PPP menyatakan dukung capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Padahal PPP sudah mendukung Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Agung menilai PPP kurang memiliki sosok pemimpin kuat yang dapat menyatukan kubu yang berseteru. Dia menyebut di masa transisi diperlukan ketua umum yang berpengaruh.
Dukungan ke Ganjar Tak Mengerek Suara
Faktor dukungan PPP ke Ganjar-Mahfud dinilai gagal mengerek suara PPP, bahkan sebaliknya. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai partai utama di koalisi ini meski menang Pileg, tetapi kehilangan 18 kursi di Senayan. Partai Hanura dan Perindo tetap gagal masuk DPR.
"Secara umum pemilih PPP lebih memilih Anies dan Prabowo, dan hanya sedikit yang memilih Ganjar di Jateng saja," kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno pada 22 Maret lalu.
Adi menilai PPP tak terlalu fokus ke Pileg, tapi harus berbagi dengan memenangkan Ganjar-Mahfud di Pilpres, "PPP seharusnya fokus lolos parlemen terlebih dulu."
Dia juga menyebut PPP gagal membaca pergeseran demografi pemilih pada 2024, di mana basisnya adalah pemilih tua yang mengecil jumlahnya.
Dalam gugatannya, PPP sempat menuntut MK memberi kebijakan khusus agar 5 juta suara tetap dikonversi jadi kursi. Sebab jika tidak, kursi itu akan jatuh ke partai lain yang tak seideologi dengan pemilihnya. Dalil itu tak dipertimbangkan MK.
Isu ambang batas ditegaskan MK sebagai masalah. Lewat Putusan Nomor 116/PUU-XX/2023, MK memerintahkan agar ambang batas dirumuskan lebih rasional pada Pemilu 2029. Alasannya, sistem proporsional semestinya menekan suara pemilih yang terbuang.
Pada 2024, sebanyak 17,3 juta suara (11,4 persen) untuk 10 parpol tak dikonversi jadi kursi akibat ambang batas parlemen 4 persen. Pemantauan Kompas.com menyebut PPP mestinya meraih 12 kursi DPR tanpa syarat ambang batas.