DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik, Dr. Taufiq Abdul Rahim, menilai elite politik Aceh bermental pengemis karena terus bergantung pada dana Otonomi Khusus (Otsus).
Menurutnya, Otsus bukan sekadar soal dana, melainkan kewenangan khusus yang diberikan pemerintah pusat kepada Aceh sebagaimana diatur dalam MoU Helsinki.
“Kalau bicara Otsus, itu bukan soal dana saja. Otsus itu kewenangan Aceh yang diberikan pusat, bukan sekadar masalah uang,” tegas Taufiq kepada Dialeksis, Sabtu.
Namun, ia menilai yang terjadi saat ini justru menunjukkan Pemerintah Aceh sibuk meminta dana tambahan Otsus, yang pada akhirnya lebih banyak dinikmati pejabat daripada rakyat.
“Dana Otsus itu hanya memperkaya pejabat, baik eksekutif maupun legislatif. Bahkan yudikatif juga ikut memanfaatkan situasi. Rakyat tidak menikmati sama sekali,” ungkapnya.
Ia menegaskan, substansi utama Otsus adalah hak menentukan nasib sendiri (self-determination) bagi Aceh. Ia menilai hal itu merupakan poin paling krusial dalam perjanjian MoU Helsinki, bukan sekadar alokasi dana.
“Self-determination itu menyangkut kewenangan politik Aceh, sejauh mana Aceh bisa menentukan dirinya sendiri. Sekarang, setelah kasus empat pulau, rakyat semakin kompak. Tuntutannya tidak lagi sebatas Otsus, tapi referendum, meski bukan melalui perang,” katanya.
Ia juga menyinggung kekayaan alam Aceh yang seharusnya cukup untuk membangun tanpa harus mengandalkan dana Otsus. Namun, menurutnya, kewenangan pengelolaan masih sepenuhnya dikendalikan pusat.
“Hari ini pembagian hasil migas 70 persen untuk pusat, 30 persen untuk Aceh. Semua diatur pusat, kewenangan Aceh tidak ada,” jelasnya.
Akibat minimnya kewenangan, lanjutnya, setiap ada masalah anggaran, eksekutif dan legislatif Aceh harus berulang kali ke Jakarta untuk meminta perubahan kebijakan.
“Ini mainan politik yang diberikan pusat. Otsus tanpa kewenangan politik hanya ilusi. Kalau hanya bicara dana Otsus, itu cara berpikir picik, Aceh mudah dipermainkan pusat,” ujarnya.
Taufiq menegaskan, yang terpenting adalah realisasi kewenangan politik Aceh sesuai MoU Helsinki. Menurutnya, 20 tahun pasca perjanjian, banyak poin yang sengaja digagalkan pemerintah pusat.
“Dari 45 poin MoU Helsinki, Otsus hanya salah satu. Yang paling penting adalah self-determination, rakyat Aceh bisa menentukan nasib dirinya sendiri,” pungkasnya.