DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Akademisi Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry yang juga Sekretaris DPD KNPI Aceh, Dr. Danil Akbar Taqwadin, Ph.D, menilai bahwa dana otonomi khusus (Otsus) yang selama dua dekade menjadi tulang punggung pembangunan Aceh, memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang yaitu sebagai perekat stabilitas politik sekaligus pemicu perpecahan dan ketergantungan politik-ekonomi di tingkat lokal.
Menurutnya, dalam konteks politik Aceh pasca-konflik, dana Otsus berfungsi ibarat candu yang mampu menenangkan sekaligus menjerat.
“Di satu sisi, dana Otsus ini menjadi perekat antara para elite politik dan kepala daerah di berbagai tingkat kepentingan yang sama. Posisi strategis di birokrasi, mulai dari Gubernur hingga anggota dewan, diperebutkan mati-matian karena siapa yang menang akan mengontrol aliran dana ini,” jelas Danil Akbar dalam wawancaranya kepada media dialeksis.com di Banda Aceh, Minggu, 26 Oktober 2025.
Ia menambahkan, perebutan posisi strategis tersebut justru menjadi faktor penahan agar Aceh tidak kembali menggunakan pendekatan ekstrem seperti masa konflik.
“Dalam konteks ini, dana Otsus justru menjaga stabilitas politik Aceh. Para elite lebih memilih bertarung di meja perundingan politik, bukan lagi di medan bersenjata,” ujarnya.
Namun, di sisi lain, Danil menegaskan bahwa perebutan candu yang sama juga melahirkan gejolak politik di tingkat bawah.
“Kita menyaksikan sendiri, pembahasan anggaran antara eksekutif dan legislatif sering macet total. Bahkan beberapa kali harus di-Pergub-kan atau di-Perbup-kan karena tidak ada titik temu. Masalahnya bukan soal ideologi pembangunan, tetapi karena tarik-menarik proyek dan kepentingan pribadi,” terangnya.
Menurut Danil, kondisi ini juga menyebabkan hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota sering kali tegang, terutama dalam hal pembagian porsi anggaran dan kewenangan.
Lebih lanjut, Danil Akbar mengingatkan bahwa Aceh kini menghadapi ancaman besar menjelang penghentian dana Otsus pada tahun 2027, yang ia sebut sebagai bom waktu sosial-ekonomi.
“Jika transfer dana Otsus dihentikan tanpa solusi konkret, lebih dari separuh struktur APBA Aceh akan lumpuh. Layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan sosial bisa terganggu bahkan terhenti. Program seperti Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) atau insentif pendidikan dayah berpotensi berhenti total,” jelasnya.
Kondisi ini, kata Danil, bisa memicu gejolak sosial baru yang mengancam perdamaian Aceh yang telah terjaga selama hampir dua dekade.
“Perdamaian Aceh bisa terancam jika masyarakat kembali merasakan ketimpangan dan kekecewaan terhadap pemerintah,” ujarnya.
Karena itu, ia menilai wajar bila Pemerintah Aceh bersama anggota DPR dan DPD RI asal Aceh saat ini sedang berjuang keras mendorong revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) agar dana Otsus dapat diperpanjang bahkan dipermanenkan seperti halnya di Papua.
Sebagai solusi, Danil Akbar menawarkan empat langkah strategis agar pengelolaan dana Otsus benar-benar menjadi berkah bagi masyarakat Aceh, bukan sekadar alat kekuasaan elit politik.
Ia sepakat bahwa dana Otsus harus diperpanjang, bahkan jika memungkinkan dibuat permanen seperti Papua, namun dengan syarat reformasi total tata kelola dan pengawasan.
“Jangan lagi memberikan cek kosong. Pemerintah pusat harus menuntut reformasi tata kelola dan mekanisme pengawasan yang ketat sebelum memperpanjang dana Otsus,” tegasnya.
Danil mengusulkan pembentukan Badan Pengelola Dana Otsus Aceh yang bersifat independen, profesional, dan transparan mirip dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) pascatsunami 2004.
“Badan ini harus diisi oleh profesional, bukan politisi. Tugasnya memastikan setiap rupiah Dana Otsus digunakan secara efektif dan tepat sasaran. Pengawasan publik dan akademisi harus menjadi bagian dari mekanisme kontrolnya,” ujarnya.
Menurutnya, arah penggunaan dana Otsus harus bergeser dari pola bagi proyek menuju investasi pada manusia dan ekonomi produktif.
Ia menyarankan agar konsep Ketahanan Manusia (Human Security) dijadikan acuan dalam perencanaan pembangunan berbasis Otsus, dengan menetapkan indikator kinerja yang terukur dan realistis.
“Arahkan dana Otsus untuk tiga hal utama: pendidikan dan kesehatan berkualitas, pemberdayaan ekonomi produktif seperti UMKM dan nelayan, serta investasi di sektor unggulan dan infrastruktur dasar,” jelas Danil.
Terakhir, ia menegaskan pentingnya keterbukaan data anggaran yang bisa diakses publik secara real-time melalui platform digital.
“Biarkan rakyat jadi pengawas utama. Jika ada penyelewengan, proses hukum harus berjalan tanpa pandang bulu. Ini penting agar kepercayaan publik kembali tumbuh,” tegasnya.
Dr. Danil Akbar mengtakan bahwa kegagalan pengelolaan Otsus selama ini bukan semata kesalahan kebijakan, melainkan lemahnya sistem teknis, pengawasan, dan integritas para pengelola.
“Jika reformasi menyeluruh tidak dilakukan, dana Otsus akan berubah dari berkah menjadi kutukan. Tapi bila dikelola dengan benar, ia bisa menjadi fondasi bagi Aceh yang mandiri, damai, dan sejahtera,” pungkasnya.