kip lhok
Beranda / Politik dan Hukum / Dosen FISIP Unhas Ungkap Refleksi Demokrasi dan Peran Akademisi di Panggung Politik Indonesia

Dosen FISIP Unhas Ungkap Refleksi Demokrasi dan Peran Akademisi di Panggung Politik Indonesia

Rabu, 07 Februari 2024 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Biyu

Andi Ahmad Yani, seorang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. [Foto: for Dialeksis]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Di tengah gelombang dinamika politik yang kian memanas menjelang pesta demokrasi, suara dari kalangan akademisi terdengar semakin lantang. 

Andi Ahmad Yani, seorang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, memberikan pandangannya mengenai peran serta akademisi dalam mengawal proses demokrasi di Indonesia.

Menurut Andi, gerakan yang dilakukan oleh para guru besar dan dosen di beberapa kampus belakangan ini merupakan sebuah refleksi mendalam tentang kondisi demokrasi di Indonesia. 

"Ini adalah sebuah gerakan menarik, yang memperlihatkan bahwa kampus tidak hanya bergerak melalui mahasiswa dalam merespon fenomena politik, namun juga para akademisi yang turut serta mengkritisi dan mengawal proses demokrasi," ungkapnya kepada Dialeksis.com, Rabu (7/2/2024). 

Andi menyoroti perubahan dalam cara mahasiswa dan akademisi beraksi. Jika pada masa lalu gerakan mahasiswa banyak dilakukan melalui demonstrasi di jalan, kini strateginya lebih beragam, termasuk penggunaan media sosial dan teknologi informasi. Sebagai contoh, pembuatan aplikasi untuk pemantauan pemilu oleh aktivis mahasiswa di Jawa, yang dianggap sebagai langkah inovatif dalam mengawasi proses demokrasi.

Lebih lanjut, Andi mengkritik keras tindakan pemerintah yang cenderung membatasi ruang gerak akademisi melalui berbagai tuduhan dan pasal karet. Kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti menjadi salah satu contoh bagaimana akademisi dan peneliti bisa terjerat hukum hanya karena menyampaikan pendapat berdasarkan data dan penelitian.

"Demokrasi harus gaduh, harus ada suara-suara yang saling berimbang. Itulah esensi dari demokrasi," tegas Andi. 

Ia menambahkan, peran akademisi bukan hanya sebagai penonton, melainkan sebagai agen perubahan yang kritis terhadap kebijakan pemerintah yang berpotensi merugikan publik.

Salah satu isu penting yang diangkat Andi adalah tentang posisi Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Menurutnya, Jokowi harus dapat memisahkan kedua peran tersebut, terutama dalam konteks konflik kepentingan yang mungkin muncul. 

"Sebagai kepala negara, Jokowi harus netral dan tidak boleh terlibat dalam praktik yang bisa merusak integritas demokrasi," ujar Andi.

Ia juga menggarisbawahi pentingnya menjaga etika politik dan hukum dalam proses demokrasi. Ia menekankan, harus ada sebuah "logika kesesuaian" di mana setiap tindakan harus dilakukan dengan mempertimbangkan kebaikan bersama, di atas kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Andi menyerukan agar semua pihak, termasuk para pemimpin politik dan masyarakat, berkompetisi secara sehat dan tidak menggunakan instrumen negara untuk kepentingan pribadi. Ia berharap pemilu berjalan damai dan semua pihak dapat menghargai perbedaan sebagai sebuah kekayaan dalam berdemokrasi.

Hal ini mengingatkan kita semua tentang pentingnya peran serta akademisi dalam mengawal demokrasi. Suara mereka tidak hanya penting dalam mengkritisi, namun juga dalam membentuk dasar pemikiran yang kuat untuk masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda