Drama Pilkada Aceh: Ketika Partai Politik Bermain Sandiwara
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arn
Mantan Walikota Sabang 2007-2012 dan juru runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Foto: Doc Pribadi
DIALEKSIS.COM | Aceh - Mantan Walikota Banda Aceh dan juru runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Munawar Liza Zainal (MLZ), mengungkapkan keprihatinannya terhadap dinamika pemilihan kepala daerah (pilkada) di Aceh yang memasuki tahap pendaftaran calon pada 27-29 Agustus 2024. Melalui media Dialeksis.com, Kamis (29/8/2024) mensajikan secara eksklusif untuk pembaca setia Dialekers, Munawar Liza Zainal menyoroti beberapa fenomena yang ia anggap sebagai kemunduran dalam proses demokrasi di wilayah tersebut.
"Partai-partai politik seolah berlomba menabur harapan palsu kepada para kandidat," ujar Munawar Liza.
Ia menjelaskan bahwa banyak partai membuka penjaringan calon, namun pada akhirnya mengusung orang lain tanpa pertimbangan yang jelas.
"Ini jenis pembohongan publik yang sangat nyata, namun ironisnya dianggap biasa oleh masyarakat," tambahnya.
Munawar Liza juga mengkritisi praktik kaderisasi yang menurutnya tidak berjalan dengan baik. "Seorang kader yang bekerja keras di dalam partai tidak ada jaminan untuk naik kelas. Yang diusung justru orang lain yang tidak pernah berjuang untuk partai," jelasnya.
Ia menambahkan bahwa aspirasi daerah sering diabaikan oleh pengurus pusat partai.
Akibatnya, menurut Munawar Liza, banyak pengurus partai menjadi "bunglon" yang berpindah-pindah sesuai arah angin politik.
"Hal ini kurang baik bagi kehidupan politik yang sehat," tegasnya.
Ia memprediksikan bahwa nantinya mesin partai tidak akan bekerja dengan baik, dengan partai dan pengurusnya mendukung calon yang berbeda.
Mantan juru runding GAM ini juga menyayangkan minimnya calon baru dalam pilkada Aceh. "Bagaimana mengharap perubahan di Aceh, kalau yang menjadi calon kepala daerah itu-itu saja?" tanyanya retoris.
Ia mencatat bahwa sebagian calon yang gagal dalam pemilihan legislatif kini beralih ke pemilihan eksekutif.
Munawarliza juga menyoroti kurangnya pemanfaatan jalur independen yang telah diperjuangkan dalam Perjanjian Helsinki.
"Calon-calon kepala daerah yang tidak terkekang partai tidak banyak yang muncul," katanya.
Ia menilai bahwa keterbatasan waktu untuk mengumpulkan KTP menjadi salah satu kendala bagi calon independen.
Hal terpenting, Munawar Liza mengkritisi kecenderungan calon kepala daerah yang mengklaim mendapat dukungan dari pusat.
"Entah apa untungnya bagi Aceh, klaim-klaim seperti itu," ungkap pemerhati sosial politik ini.
Pilkada serentak di Aceh tahun 2024 menurut Munawar Liza menjadi sorotan berbagai pihak, mengingat posisi strategis provinsi tersebut dan sejarah panjang konfliknya. Pemerhati sosial dan politik ini menilai, kualitas demokrasi di Aceh akan sangat ditentukan oleh integritas proses pemilihan dan kualitas calon yang muncul.