Senin, 30 Juni 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Dualisme Pengawas Pemilu di Aceh dan Urgensi Penyesuaian Pasca Putusan MK

Dualisme Pengawas Pemilu di Aceh dan Urgensi Penyesuaian Pasca Putusan MK

Senin, 30 Juni 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Junaidi, S.Ag., MH., mantan Komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Aceh - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan Pilkada tidak lagi berada dalam rezim pemerintahan daerah menimbulkan sejumlah implikasi hukum dan kelembagaan dalam sistem kepemiluan di Aceh. Salah satu isu krusial yang mengemuka adalah perlunya penyesuaian terhadap lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu, khususnya menyangkut dualisme kewenangan pengawasan.

Hal itu disampaikan oleh Junaidi, S.Ag., MH., mantan Komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, dalam tanggapan tertulisnya kepada redaksi Dialeksis, Senin (30/6/2025). 

Menurut Junaidi, putusan MK tersebut menjadi momen penting untuk menata ulang penyelenggaraan pemilu di Aceh, agar berjalan lebih tertib, jelas, dan sesuai dengan semangat kekhususan daerah.

Junaidi menjelaskan, selama ini pengawasan terhadap proses pemilu di Aceh terbagi dua. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bertugas mengawasi Pemilu Nasional, seperti Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden. Sementara itu, untuk Pilkada yang sebelumnya dianggap bagian dari urusan pemerintahan daerah pengawasan dilakukan oleh Panitia Pengawas (Panwas) Pilkada yang direkrut secara khusus.

“Dengan adanya putusan MK, maka Pilkada tidak lagi menjadi domain pemerintah daerah. Artinya, rezimnya sudah berubah. Ini penting karena menyangkut siapa yang berhak secara hukum melakukan pengawasan,” kata Junaidi kepada Dialeksis.

Ia menilai, jika Pilkada ke depan sepenuhnya di bawah kerangka nasional, maka pengawasan seharusnya berada di tangan Bawaslu. Namun, dalam konteks kekhususan Aceh, hal ini tidak bisa diterapkan begitu saja tanpa pengkajian lebih dalam.

“Perlu penelaahan ulang terhadap dualisme lembaga pengawas yang selama ini eksis di Aceh agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Junaidi menyebut bahwa dinamika ini membuat urgensi revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) semakin relevan. Menurutnya, revisi tidak hanya untuk menyesuaikan dengan perkembangan hukum nasional, tetapi juga untuk memperkuat kelembagaan lokal agar tetap selaras dengan prinsip kekhususan dan keistimewaan Aceh.

“Revisi UUPA harus dibicarakan secara mendalam dan komprehensif. Bukan sekadar karena dorongan teknis semata, tapi demi menjaga marwah kekhususan Aceh dalam sistem kenegaraan Indonesia,” tegasnya.

Junaidi juga menyoroti posisi dan fungsi Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh sebagai lembaga penyelenggara pemilu khusus di Aceh. Menurutnya, penguatan kelembagaan KIP perlu dilakukan tidak hanya secara struktural tetapi juga melalui proses rekrutmen yang lebih transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi publik.

“Perekrutan anggota KIP Aceh harus memenuhi prinsip keterbukaan. Ini penting untuk menjaga independensi dan integritas lembaga, serta mengembalikan kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu di Aceh,” ungkapnya.

Ia menambahkan, transparansi dalam perekrutan juga menjadi benteng untuk mencegah masuknya kepentingan politik praktis ke dalam tubuh KIP, yang pada akhirnya bisa merusak proses demokrasi di tingkat lokal.

Selain soal kelembagaan penyelenggara dan pengawas pemilu, Junaidi juga menyoroti pentingnya pembinaan dan penguatan partai politik lokal (parlok) sebagai salah satu pilar kekhususan Aceh. Ia menilai, partai lokal memiliki peran strategis dalam menyalurkan aspirasi masyarakat Aceh secara langsung dan sesuai dengan nilai-nilai lokal.

Namun demikian, ia mengakui bahwa keberadaan parlok belum sepenuhnya mendapat dukungan yang memadai dari sisi regulasi dan anggaran.

“Pembinaan terhadap partai lokal harus dilakukan secara lebih terstruktur. Salah satu bentuk konkret dukungan itu adalah melalui anggaran daerah,” ujarnya.

Junaidi mengusulkan, bantuan keuangan kepada partai lokal yang memiliki kursi di parlemen seharusnya diperhitungkan berdasarkan perolehan suara secara proporsional, bukan sekadar jumlah kursi. Skema ini dinilai lebih adil dan bisa mendorong parlok untuk lebih aktif membina konstituen dan meningkatkan kualitas kaderisasi.

Dalam pandangannya, penyelenggaraan pemilu lokal di Aceh harus mencerminkan nilai-nilai kekhususan dan keistimewaan Aceh yang diakui secara hukum nasional maupun dalam perjanjian damai Helsinki. Oleh karena itu, menurutnya, tidak boleh ada pemaksaan terhadap skema nasional yang menegasikan unsur kekhususan Aceh.

“Pemilu lokal Aceh harus tetap menjadi arena ekspresi kekhususan Aceh. Jangan sampai perubahan-perubahan nasional malah mendegradasi kekhususan yang sudah kita perjuangkan bertahun-tahun,” tegasnya.

Menurut Junaidi, menjaga kekhususan Aceh dalam konteks pemilu bukan berarti menolak integrasi nasional, melainkan memastikan bahwa otonomi khusus yang diberikan benar-benar dihormati dan dijalankan sesuai spirit awal perdamaian.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menggeser rezim Pilkada dari domain daerah ke nasional harus menjadi pemicu untuk melakukan penataan ulang sistem kepemiluan di Aceh secara menyeluruh. Mulai dari soal pengawasan, struktur lembaga penyelenggara, hingga dukungan terhadap partai lokal, semuanya harus dibicarakan dengan mempertimbangkan kekhususan Aceh sebagai daerah istimewa.

Menurut Junaidi, langkah ke depan tidak cukup hanya dengan revisi UUPA semata. Tetapi juga perlu komitmen politik dari semua elemen baik pemerintah pusat maupun daerah untuk menghormati dan memperkuat kekhususan Aceh melalui sistem pemilu yang adil, proporsional, dan sesuai dengan kebutuhan lokal.

“Semangatnya bukan hanya reformasi kelembagaan, tapi juga rekonstruksi komitmen terhadap nilai-nilai perdamaian dan kekhususan Aceh,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI