DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Partai Golongan Karya (Golkar) telah menjadi bagian integral dari sejarah panjang politik Indonesia.
Dalam evaluasi tajam yang disampaikan Pengamat Politik dan Keamanan Aceh, Aryos Nivada, melalui platform youtube Monolog Jalan Ary Official, Senin (2/6/2025), partai berlambang pohon beringin ini dinilai tengah berada dalam fase kritis yang menuntut perombakan serius baik secara internal maupun eksternal.
“Jika kita bicara tentang Golkar, kita tidak akan pernah bisa memisahkannya dari sejarah republik ini. Golkar adalah warna dalam perjalanan politik bangsa ini, yang bahkan melampaui usia banyak partai lain. Tapi enam dekade usia bukan jaminan kekuatan politik, jika tidak diimbangi dengan arah yang jelas,” buka Aryos.
Menurut Aryos, Golkar saat ini tengah mengalami krisis regenerasi. Tidak ada satu pun kader yang diusung sebagai calon presiden dalam tiga periode terakhir, meskipun secara struktur dan kekuatan di parlemen, Golkar bukan partai kecil.
“Ini bukan hanya soal jumlah kursi, tetapi soal keberanian mengambil sikap dan membangun identitas partai. Golkar terlalu nyaman menjadi pengikut, bukan penentu,” tegasnya.
Ia menyebut bahwa partai ini seolah tak memiliki keberanian untuk menempatkan kader-kader mudanya dalam posisi strategis, terutama dalam panggung nasional.
“Apa gunanya sekolah politik kalau kader sendiri tak diberi panggung? Ini membuat regenerasi hanya menjadi jargon tanpa implementasi,” kritik Aryos.
Tak hanya stagnasi regenerasi, Aryos juga menyoroti lemahnya disiplin partai dan konflik internal yang terus berulang.
“Seharusnya, partai setua Golkar sudah matang dalam manajemen konflik. Tapi yang terjadi sebaliknya, banyak kasus perpecahan dan tarik-menarik kepentingan yang justru memperburuk citra partai,” jelasnya.
Ia mencontohkan bahwa konflik yang mencuat ke publik tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat, tetapi juga menunjukkan betapa lemahnya sistem penyelesaian sengketa di tubuh partai.
"Golkar harusnya jadi rujukan bagi partai lain, tapi hari ini justru sering tampil sebagai sorotan negatif,” lanjut Aryos.
Lebih jauh, Aryos mengulas tentang krisis kepercayaan publik yang dialami Golkar akibat buruknya pengelolaan isu.
Ia menyebut nama-nama seperti Azis Syamsuddin dan Setya Novanto sebagai contoh kader yang tersandung kasus hukum, namun tidak ada upaya maksimal dari partai untuk melakukan damage control.
“Seharusnya Golkar memunculkan narasi positif. Tunjukkan bahwa banyak kader mereka yang berprestasi. Tapi yang terjadi, publik hanya disuguhi sisi buruk,” katanya.
Dalam aspek elektoral, Aryos menyebut strategi Golkar cenderung reaktif dan pragmatis. “Di banyak daerah, Golkar tak mengusung kadernya sendiri. Mereka justru menarik tokoh luar menjadi kader instan demi kepentingan elektoral. Ini bukan strategi, ini oportunisme politik,” tegas Aryos.
Menurutnya, langkah-langkah seperti itu tidak hanya mencederai kader internal yang telah lama berjuang, tetapi juga menciptakan kesan bahwa Golkar tidak punya keyakinan terhadap kemampuannya sendiri.
"Kalau terus begini, bagaimana Golkar bisa dipercaya sebagai pelopor politik kader?”
Aryos juga menyoroti perubahan tagline partai dari Suara Golkar Suara Rakyat menjadi Suara Rakyat Suara Golkar.
Ia mempertanyakan konsistensi partai dalam membangun identitas yang kuat dan membumi.
“Tagline itu bukan sekadar slogan, itu semestinya menjadi fondasi sikap politik. Tapi saat ini identitas partai justru kabur. Tidak ada garis yang tegas, tidak ada cerminan kuat di mata rakyat,” jelasnya.
Menurutnya, Golkar butuh rebranding yang serius, bukan sekadar ganti jargon, tapi membangun ulang blueprint identitas partai.
"Kalau tidak ada fondasi ideologi yang jelas, publik akan semakin bingung: Golkar ini siapa, dan untuk siapa?” tanyanya.
Aryos juga menyinggung soal minimnya keberpihakan partai terhadap generasi muda. “Golkar masih terlalu identik dengan kalangan tua. Padahal, pemilih muda sekarang adalah mayoritas. Tapi mereka tidak merasa Golkar hadir untuk mereka,” kata Aryos.
Ia membandingkan dengan partai seperti NasDem atau Gerindra yang aktif membangun sekolah kader dan memberikan panggung kepada generasi muda.
"Ini yang harus jadi catatan bagi Golkar. Jangan sampai jadi partai nostalgia yang hanya hidup dari kenangan masa lalu," ujarnya.
Aryos menekankan bahwa Golkar harus melakukan introspeksi terhadap implementasi kebijakan yang selama ini tidak terukur. Ia melihat adanya ketidaksinkronan antara pusat dan daerah, antara elite dan akar rumput.
"Kebijakan partai seringkali tidak terasa dampaknya, karena tidak disertai strategi pelaksanaan yang kuat. Ini problem serius bagi partai sebesar Golkar,” pungkasnya. [nh]