Jum`at, 05 Desember 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Forbina Desak Tegas: Cabut Izin Tambang Perusak, Paksa Korporasi Biayai Pemulihan Aceh

Forbina Desak Tegas: Cabut Izin Tambang Perusak, Paksa Korporasi Biayai Pemulihan Aceh

Jum`at, 05 Desember 2025 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Direktur Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina), M. Nur. Foto: for Dialeksis 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina), M. Nur, mendesak Pemerintah Aceh melakukan evaluasi menyeluruh atas izin tambang dan pemanfaatan hutan yang selama ini menjadi sorotan publik. 

Ia menilai rangkaian banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah daerah dalam dua pekan terakhir bukan semata bencana alam, melainkan akumulasi dari kebijakan eksploitasi yang longgar dan pengawasan yang lemah.

“Sudah terlalu lama perusahaan menikmati keuntungan tanpa memastikan keselamatan ekologis Aceh. Pemerintah tak boleh lagi sekadar reaktif menunggu bencana datang,” kata M. Nur kepada Dialeksis, Jumat 5 Desember 2025. 

Menurut dia, evaluasi izin tambang dan hutan harus dilakukan secara tegas dan terbuka. Setiap perusahaan yang abai terhadap kewajiban reklamasi maupun rehabilitasi harus diminta mempertanggungjawabkan kerusakan yang ditimbulkan. 

“Izin yang tidak dipatuhi harus dihentikan. Kalau perlu, cabut. Jangan sampai negara terlihat tak berdaya menghadapi korporasi,” ujar dia.

M. Nur juga mendorong Pemerintah Aceh menerbitkan instruksi khusus agar BUMN dan BUMD menyalurkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) secara berkelanjutan selama proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana hidrometeorologi berlangsung. 

Menurut dia, pendanaan jangka panjang sangat dibutuhkan mengingat kerusakan yang terjadi tidak kecil dan pemulihan tak mungkin selesai dalam hitungan minggu.

“CSR tidak boleh lagi bersifat seremonial. Kita memerlukan aliran dukungan yang konsisten, bukan bantuan sekali lewat,” ucapnya.

Ia menambahkan, perusahaan negara yang beroperasi di Aceh mesti hadir sebagai bagian dari solusi, bukan sekadar pihak yang datang ketika kamera menyala. 

“Masyarakat sedang berupaya bangkit, dan perusahaan memiliki tanggung jawab moral untuk ikut menopang pemulihan,” katanya.

Dalam pernyataannya, M. Nur mengkritik pola eksploitasi lahan yang, menurut dia, masih berorientasi pada kepentingan jangka pendek. 

Ia menyebut banyak perusahaan yang meninggalkan lubang tambang terbuka, memicu erosi, dan memperburuk daya dukung lingkungan di kawasan hulu.

“Ini pola lama: mengambil sebanyak-banyaknya, meninggalkan sedikit mungkin tanggung jawab. Pola seperti itu harus diakhiri,” ujarnya.

Ia mengusulkan pembentukan tim audit independen untuk memeriksa seluruh lokasi bekas tambang dan kawasan hutan kritis di Aceh. 

Hasil audit, kata dia, perlu dipublikasikan agar publik mengetahui pihak-pihak yang paling berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan.

M. Nur menekankan bahwa pemulihan Aceh tidak bisa berhenti pada respons cepat bencana. Pemerintah perlu merumuskan strategi jangka panjang yang menyentuh aspek ekologis, kebijakan, dan tata kelola ruang.

Beberapa langkah yang ia ajukan meliputi; moratorium izin baru di sektor tambang dan kehutanan; penegakan hukum lingkungan dengan denda maksimum bagi pelanggar; pelibatan lembaga adat dan pemerintah gampong sebagai pengawas awal; pemetaan ulang daerah rawan bencana dan pelarangan kegiatan ekstraktif di zona merah; dan keterlibatan perguruan tinggi dan organisasi masyarakat sipil dalam kontrol publik.

“Kalau kita hanya sibuk berjibaku setelah bencana terjadi, itu bukan kebijakan lingkungan--itu sekadar pemadam kebakaran. Pemerintah Aceh harus berani mengoreksi arah pengelolaan ekologinya sekarang juga,” kata M. Nur menutup pernyataan.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI