kip lhok
Beranda / Politik dan Hukum / Ganjar Nongol di Azan, Apa Aroma Politik Identitas?

Ganjar Nongol di Azan, Apa Aroma Politik Identitas?

Jum`at, 15 September 2023 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Auliana Rizky
Farnanda. [Foto: Ist./Dialeksis.com]

DIALEKSIS. COM | Banda Aceh - Bakal calon presiden dari PDIP, Ganjar Pranowo, muncul dalam tayangan azan magrib di televisi (TV) swasta. Apa itu aroma politik? Wakil Menteri Agama (Wamenag) Saiful Rahmat Dasuki menilai hal itu bukan politik identitas.

Menanggapi hal tersebut, Peneliti Jaringan Survei Inisiatif (JSI), Farnanda menuliskan caption pada akun instagram milik pribadinya @farnanda.nd.

"Meskipun tertawa saya sedikit menyebalkan, tapi percayalah isu ini ditulis dengan kecermatan yang serius dan mendalam, politik identitas sering disalahartikan, masyarakat Indonesia itu Pluralis, jadi sah-sah saja bila identitas dijadikan cara memikat selama itu tidak memobalisasi perpecahan," yang dikutip Dialeksis.com, Jumat (15/9/2023).

Farnanda mengatakan, apakah Ganjar mencuri predikat bapak politik identitas dari Anies Baswedan? Bagi yang pernah belajar marketing politik, menampilkan diri sebagai sosok yang religius adalah strategi biasa untuk menyasar tipe pemilih sosiologis dengan karakter masyarakat tertentu.

Sebenarnya, tidak perlu dipersoalkan secara berlebihan, kalau ada kandidat yang tampil sedang beribadah, itu biasa saja. Namun, kenapa kemudian isu ini menjadi banyak kecaman dengan kesan politik identitas? 

"Karena rasa-rasanya kita telah keliru memahami politik identitas yang kesannya nanti akan menjadi pemecah belah bangsa atau lebih konkret lagi sesempit kita memahami AKSI 212," ujarnya lagi.

Ia juga menyebut, di sinilah letak persoalannya, jadi kesannya begitu anti dengan politik identitas. Padahal, politik identitas adalah sebuah gerakan berbasis kesamaan identitas tertentu yang berjuang dalam wilayah politik (Maarif, 2012). Dalam praktiknya, berapa banyak orang Indonesia yang kalau memilih pemimpin itu fokus pada program kerjanya, tidak peduli agamanya, berasal NU atau Muhammadiyah, tidak peduli etnisnya, dan sebagainya.

"Jadi, bila itu untuk mendapatkan dukungan politik ya tidak masalah, tapi dengan catatan selama politik identitas itu tidak dipergunakan untuk mengakomodir kebencian dan perpecahan berlebihan menjelang Pilpres tahun 2024 mendatang," pungkasnya. [AU]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda