Sabtu, 12 Juli 2025
Beranda / Politik dan Hukum / Gugat UU MK, Pemohon: MK Harus Tetap Jadi Negative Legislator, Bukan Positive Legislator

Gugat UU MK, Pemohon: MK Harus Tetap Jadi Negative Legislator, Bukan Positive Legislator

Selasa, 08 Juli 2025 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). {Foto: Antara Foto/Hafidz Mubarak A]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 

Pemohon, Marthen Boiliu, menilai Pasal 57 ayat (1) dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena memberikan ruang bagi MK untuk melampaui fungsinya sebagai negative legislator.

Marthen yang berprofesi sebagai advokat sekaligus mahasiswa pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, menyampaikan bahwa Mahkamah semestinya membatasi diri hanya sebagai negative legislator, yakni lembaga yang hanya membatalkan norma yang bertentangan dengan konstitusi, bukan merumuskan norma baru.

“Mahkamah seharusnya cukup memaknai perannya sebagai negative legislator, tidak bertindak layaknya positive legislator yang membuat norma baru. Itu bukan kewenangan MK,” ujar Marthen yang dikutip pada Selasa (8/7/2025).

Marthen mencontohkan, dalam beberapa perkara sebelumnya seperti Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah dinilai telah bertindak melebihi batas dengan memuat rumusan norma baru dalam amar putusan. Menurut dia, hal itu merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan yudikatif.

“Jika Mahkamah memutus lalu sekaligus merumuskan norma pengganti, maka itu sudah bukan lagi fungsi yudisial, melainkan legislatif. Itu inkonstitusional,” tegas Marthen saat membacakan petitum.

Catatan Hakim: Permohonan Belum Konsisten

Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur mengingatkan agar pemohon memperjelas objek yang diuji dan menyusun permohonan secara lebih ringkas.

“Norma yang hendak diuji mohon diteliti dengan saksama, masih belum konsisten antara posita dan petitum,” ujarnya.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Arsul Sani menilai adanya ketidakjelasan dalam penyebutan pasal yang diuji. “Harus tegas, apakah satu pasal dua ayat atau satu ayat saja. Dicek lagi, karena masih terlihat inkonsistensi,” kata Arsul.

Wakil Ketua MK Saldi Isra juga menekankan pentingnya mengurai alasan konstitusional pengujian norma secara lebih spesifik. “Di mana pertentangannya, dan apa hubungannya dengan UUD 1945? Pelajari putusan-putusan terdahulu yang sederhana dan mudah dipahami,” tutur Saldi. [*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI