Beranda / Politik dan Hukum / Jhon Sitorus: RUU Kejaksaan Berpotensi Jadi Superbodi

Jhon Sitorus: RUU Kejaksaan Berpotensi Jadi Superbodi

Sabtu, 15 Februari 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Pegiat media sosial Jhon Sitorus. Foto: net


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Pegiat media sosial Jhon Sitorus mengungkapkan kekhawatirannya atas potensi bahaya yang ditimbulkan oleh Rancangan Undang-Undang (RUU) Kejaksaan. 

Menurutnya, rancangan tersebut mengandung beberapa pasal yang dapat melemahkan prinsip akuntabilitas hukum bagi para jaksa, sehingga berpotensi mengubah institusi itu menjadi lembaga superbodi.

"Dengan RUU Kejaksaan yang baru, ada risiko besar bahwa institusi ini justru berubah menjadi superbodi," ujar Jhon seperti dilansir fajar.co.id pada 14 Februari 2025.

Kritik tajamnya semakin terlihat ketika menyoroti Pasal 8 Ayat 5, yang mengatur bahwa seorang jaksa baru dapat diproses hukum apabila mendapatkan izin dari Jaksa Agung. 

"Contohnya, pasal tersebut menyatakan bahwa jaksa yang melanggar hukum hanya bisa diproses jika mendapatkan restu dari Jaksa Agung," jelasnya.

Jhon menilai aturan tersebut berpotensi menjadi tameng bagi jaksa yang melakukan pelanggaran hukum, sehingga mereka terhindar dari pertanggungjawaban. 

"Artinya, jika ada jaksa yang terlibat dalam kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau bahkan praktik mafia, proses hukum tidak dapat langsung dijalankan. Semua tergantung pada restu atasan mereka," ungkapnya.

Sebagai ilustrasi, ia menyinggung kasus seorang jaksa di Batubara yang diduga melakukan pemerasan terhadap seorang guru SD, namun hanya dikenai sanksi mutasi daripada hukuman pidana. 

"Jaksa yang terlibat pemerasan tersebut hanya mendapatkan mutasi, bukan hukuman pidana," tambahnya.Tak berhenti di situ, Jhon juga menyebut kasus Jaksa Pinangki yang meskipun terjerat kasus korupsi, tetap menerima vonis ringan. "Kasus Jaksa Pinangki seolah hanya sandiwara; vonis yang dijatuhkan sangat ringan," ujarnya dengan nada prihatin.

Kekhawatiran Jhon pun mengarah pada pertanyaan mendasar tentang arah supremasi hukum di Indonesia. 

Ia mempertanyakan apakah kebijakan tersebut benar-benar untuk memperkuat penegakan hukum, atau justru memberikan jaksa kekuasaan yang berlebihan potensi yang bisa disalahgunakan untuk kepentingan politik.

"Pertanyaannya adalah, apakah ini masih supremasi hukum, atau justru supremasi jaksa sesuai pesanan politik?" pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI