DIALEKSIS.COM | Bireuen - Kasus dugaan penganiayaan terhadap seorang santri berusia 14 tahun berinisial MDL di Pesantren Al Muslim, Matang Geulumpangdua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen, terus menjadi sorotan publik. Namun, hingga kini pihak pengelola pesantren masih bungkam terkait peristiwa tersebut.
Pada Selasa, 2 September 2025, Dialeksis.com mencoba menghubungi Ketua Yayasan Almuslim Peusangan, Tgk. H. Munawar Yusuf, untuk mengonfirmasi kebenaran kejadian dan langkah yang telah diambil pihak pesantren.
Pertanyaan yang diajukan sederhana: “Izin mau konfirmasi kejadian ini, apakah benar adanya? Saat ini bagaimana proses yang dilakukan pihak pesantren?”
Namun, hingga berita ini diturunkan, Munawar Yusuf tidak menjawab pertanyaan tersebut. Sikap bungkam ini menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat yang menunggu kejelasan dan sikap resmi lembaga pendidikan Islam tersebut.
Sementara itu, bagian pengasuhan santri Pesantren Al Muslim, Feri Irmawan, yang juga diminta konfirmasi, hanya memberikan jawaban singkat: ???? “Mohon maaf konfirmasinya ke Yayasan Almuslim Peusangan.”
Kronologi Kejadian
Peristiwa penganiayaan dialami MDL pada Selasa malam, 26 Agustus 2025, sekitar pukul 22.30 WIB. Menurut keterangan orang tua korban, Muhammad Ikhwan, insiden berawal ketika anaknya dipanggil oleh salah satu senior bernama Lutfhi Al Kabir bersama sejumlah rekannya.
Mereka menanyakan alasan sang anak tidak ikut dalam upacara peringatan 17 Agustus dan kegiatan muhadharah (latihan pidato).
“Anak saya menjawab dengan jujur bahwa ia sedang kurang sehat. Namun jawaban itu malah memicu kemarahan pelaku. Anak saya ditendang di bagian wajah, dijambak rambutnya, lalu ditampar. Setelah itu dia dipukul lagi hingga jatuh tak sadarkan diri,” tutur Ikhwan, Rabu (2/9/2025).
Korban yang dalam kondisi lemas sempat dibawa ke Puskesmas Peusangan untuk mendapatkan perawatan medis. Namun, orang tua korban baru dihubungi setelah kejadian tersebut.
“Anak saya sudah dalam kondisi kritis baru saya diberitahu. Saya sangat kecewa,” tambah Ikhwan.
Tidak terima dengan kejadian ini, Ikhwan melaporkan kasus tersebut ke Polres Bireuen. Ia menilai peristiwa tersebut jelas memenuhi unsur tindak pidana kekerasan terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 80 Ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
“Saya minta polisi serius mengusut kasus ini agar pelaku mendapat hukuman setimpal. Anak saya bukan hanya terluka fisiknya, tapi juga mengalami trauma yang mendalam,” tegasnya.
Kasus ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga menyangkut citra lembaga pendidikan agama. Pesantren, yang seharusnya menjadi tempat aman untuk menuntut ilmu agama, justru tercoreng dengan kasus kekerasan terhadap santri.
Muhammad Ikhwan berharap agar kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi dunia pendidikan di Aceh.
“Anak-anak dititipkan ke pesantren untuk dididik, bukan untuk dipukul. Jangan sampai ada korban lain yang mengalami hal serupa,” pungkasnya.