DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di tengah ragam budaya dan bahasa di Aceh, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh berhasil mencetak rekor luar biasa dalam Pemilu 2024 yaitu partisipasi pemilih mencapai 87,01%, melampaui jauh target nasional 77%.
Dalam edisi khusus Podcast KPU RI bertajuk Seri Parmas, Ketua KIP Aceh, Agusni AH, membeberkan strategi-strategi unik yang menjadi kunci keberhasilan Aceh merangkul masyarakat dalam pesta demokrasi.
Podcast ini membuka tabir upaya luar biasa KIP Aceh menjangkau lebih dari 3,7 juta pemilih tetap di 23 kabupaten/kota, dengan pendekatan yang bersandar pada kearifan lokal, pendekatan budaya, dan sentuhan religius.
"Di Aceh ada tiga rumpun bahasa utama, yakni Aceh-Melayu, Gayo, dan Pesisir. Tapi bahkan antar-kecamatan pun bisa berbeda bahasa dan dialeknya," jelas Agusni.
KIP Aceh menyiasatinya dengan mengerahkan penyelenggara pemilu lokal yang memahami budaya dan bahasa setempat.
Dengan mengedepankan pendekatan berbasis budaya, komunikasi menjadi lebih efektif. Tak hanya itu, pendekatan religius melalui masjid, menasah (surau), hingga pertemuan di kantor desa menjadi sarana strategis untuk menyentuh hati warga.
"Kita nggak bisa pakai satu pola untuk semua. Bahasa itu kunci pertama untuk membangun kepercayaan," ujarnya.
Salah satu strategi andalan KIP Aceh adalah program MUPEPET -- akronim dari "merepet", bahasa Aceh yang menggambarkan orang yang berbicara terus menerus.
"Tapi bukan marah-marah ya, maksudnya terus menyampaikan pesan pemilu tanpa henti," kata Agusni.
Armada mobil keliling menyisir kota dan pedesaan tiga kali sehari, menyuarakan informasi pemilu melalui pengeras suara.
"Di kepulauan, kami bahkan gunakan sampan dan boat untuk menjangkau masyarakat," lanjutnya.
Pemilih pemula menjadi segmen penting. Pihaknya datangi sekolah-sekolah, jadi inspektur upacara setiap Senin, dan menyisipkan edukasi pemilu, tak jarang, guru-guru pun ikut antusias dalam sesi sosialisasi.
Yang menarik, KIP Aceh memperkenalkan maskot bernama Cek Li - seekor burung cempala kuning yang langka dan khas Aceh. Maskot ini bukan sekadar ikon lucu, tapi strategi membangun kedekatan emosional masyarakat dengan proses demokrasi.
“Cek Li jadi rebutan. Banyak yang mau beli. Tapi sayangnya nggak bisa dijual,” ujarnya.
Agusni juga mengungkap pendekatan lain yang tak kalah menarik: “cang panah jual obat” -- istilah khas Aceh untuk diskusi santai sembari menyeruput kopi di warung kopi, tempat berkumpulnya warga.
"Kita datangi warung kopi, ngobrol, sampaikan informasi. Seperti penjual obat, tapi yang dijual itu pengetahuan tentang pemilu,” katanya.
Strategi ini berhasil menciptakan ruang diskusi yang cair, penuh canda namun bermakna. “Cukup dengan salam, jabat tangan, duduk, masyarakat langsung terbuka,” tambahnya.
Di balik capaian luar biasa itu, tantangan tetap ada. Menurutnya, pemilih pemula itu seperti kanvas putih. Kadang mereka belum paham, belum tertarik.
Namun pendekatan interaktif, seperti meminta mereka tampil ke depan dan mengulang informasi, justru memicu gelak tawa dan mencairkan suasana.
“Dari situ muncul semangat. Bahkan banyak yang rela ikut kegiatan sampai sore hari,” jelasnya.
KIP Aceh pun menyiapkan logistik ringan seperti makanan dan minuman, serta suvenir menarik, sebagai bentuk apresiasi.
“Di Aceh, pendekatan paling efektif cuma dua: kultural dan religius,” tegas Agusni.
Dengan memanfaatkan dua pendekatan ini secara konsisten, KIP Aceh membuktikan bahwa demokrasi bisa tumbuh subur tanpa harus selalu mengandalkan metode digital atau formal semata.
“Kami percaya, membangun demokrasi harus menyentuh akar budaya masyarakat. Dan di Aceh, budaya dan agama adalah napas kehidupan,” pungkasnya. [nh]