DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh resmi menetapkan tiga tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) di Kabupaten Aceh Jaya yang bersumber dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Program yang dilaksanakan melalui Koperasi Pertanian Sama Mangat/Koperasi Produsen Sama Mangat (KPSM) itu diduga menyimpang dari ketentuan dan menyebabkan kerugian keuangan negara mencapai Rp38.427.950.000.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Aceh, A. Ali Rasab Lubis, S.H., dalam keterangan resmi kepada media dialeksis.com, Jumat (8/8/2025), menjelaskan bahwa penetapan tersangka dilakukan setelah serangkaian pemeriksaan saksi, ahli, dan pengumpulan barang bukti yang menguatkan adanya indikasi penyimpangan.
“Penetapan tersangka ini telah melalui proses yang panjang, termasuk ekspose bersama pimpinan di Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI, serta mendapatkan persetujuan tertulis sesuai prosedur, mengingat salah satu tersangka adalah anggota DPRK Aceh Jaya aktif,” ujar Ali Rasab Lubis.
Tiga tersangka yang ditetapkan masing-masing adalah S sebagai Wiraswasta, Ketua Koperasi Pertanian Sama Mangat/Koperasi Produsen Sama Mangat Kabupaten Aceh Jaya, sekaligus anggota DPRK Aceh Jaya periode 2024“2029. Ditetapkan tersangka pada 15 Juli 2025.
TM sebagai Kepala Dinas Pertanian Aceh Jaya periode 2017“2020, yang juga menjabat Plt. Kepala Dinas Pertanian pada Januari 2023“2024. Ditetapkan tersangka pada 30 Juli 2025.
TR sebagai Kepala Dinas Pertanian Aceh Jaya periode Maret 2021“2023, dan saat ini menjabat Sekda Aceh Jaya. Ditetapkan tersangka pada 30 Juli 2025.
Menurut Ali Rasab, ketiganya dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman pidana penjara maksimal seumur hidup.
Berdasarkan hasil penyidikan, pada 2019-2021 S, selaku Ketua KPSM, mengajukan proposal permohonan dana bantuan PSR dengan total luas 1.536,7 hektare untuk empat tahap.
Proposal tersebut diajukan ke Dinas Pertanian Aceh Jaya, diverifikasi, dan diberikan Rekomendasi Teknis (Rekomtek) untuk diajukan ke tingkat provinsi, Kementerian Pertanian RI, dan BPDPKS.
Dana PSR kemudian disalurkan melalui mekanisme kerja sama BPDPKS, pihak bank, dan koperasi, dengan nilai pencairan mencapai Rp38,4 miliar.
Namun, hasil pemeriksaan ahli Geographic Information System (GIS) dari Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala menemukan fakta bahwa sebagian lahan yang diusulkan bukan milik petani, melainkan eks-lahan PT Tiga Mitra yang berstatus Hak Pengelolaan (HPL) Kementerian Transmigrasi RI.
“Tidak ditemukan tanaman sawit milik masyarakat di lokasi tersebut. Justru yang ada adalah hutan dan semak belukar. Dengan kondisi itu, rekomendasi teknis seharusnya tidak bisa diterbitkan. Tetapi nyatanya tetap dikeluarkan,” jelas Ali Rasab.
Ali Rasab menegaskan, penyimpangan ini mengakibatkan program PSR tidak terealisasi sesuai tujuan, yakni peremajaan sawit rakyat. Negara pun kehilangan potensi manfaat dari dana yang telah disalurkan.
“Kerugian negara berdasarkan perhitungan awal mencapai Rp38.427.950.000. Angka ini merupakan nilai dana yang disalurkan tanpa memenuhi kriteria teknis maupun administratif program PSR,” tegasnya.
Kejati Aceh saat ini masih melanjutkan penyidikan, termasuk memeriksa pihak-pihak terkait lainnya. Tidak tertutup kemungkinan jumlah tersangka akan bertambah seiring perkembangan perkara.
“Penyidikan akan terus kami dalami. Kami mengimbau seluruh pihak yang mengetahui informasi terkait kasus ini untuk kooperatif. Korupsi pada sektor perkebunan sawit bukan hanya merugikan keuangan negara, tapi juga merampas hak petani untuk mendapatkan program yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan mereka,” pungkas Ali Rasab.